Minggu, 18 Desember 2011

PROSPEK PENGEMBANGAN PERAN KOPERASI DALAM MASALAH PERBERASAN



Oleh : Teuku Syarif

I. Latar Belakang
Sampai dengan akhir tahun 2006 Badan Pusat Statistik menginformasikan bahwa jumlah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UKM) telah mencapai 48,634 juta unit, atau 99,99% dari jumlah dunia usaha ada di Indonesia. Dari jumlah tersebut lebih kurang 68,9%-nya bergerak di setor tanaman pangan khususnya padi, baik sebagai pemilik lahan, penyewa atau penyakap. Dengan perkataan lain sub sektor ini menjadi tumpuan hidup dari 33,508 juta kepala keluarga, atau lebih kurang 134,035 juta jiwa rakyat Indonesia. Oleh karena besarnya jumlah rakyat yang hidup pada sub sektor tersebut, maka fluktuasi harga bahan pangan khususnya beras secara langsung mempengaruhi tingkat kesejahteraan mereka.
Rendahnya harga beras pada dua tahun terakhir diduga menjadi salah satu penyebab berkurangnya minat petani untuk bertanam padi, yang berakibat menurunnya produksi beras dalam negeri. Kekurangan beras di dalam negeri
memang dapat diselesaikan dengan mengimpor beras yang pada tahun 2005
mencapai 350.000 ton dan tahun 2006 mencapai 460.000 ton. Jumlah impor
yang dilakukan pemerintah ini diduga lebih kecil dari jumlah beras impor yang
masuk melalui jalur lainnya. Guna mengurangi beban impor maka pemerintah
bertekat meningkatkan produksi beras dalam negeri, untuk itu pemerintah mendorong petani agar pada tahun 2007 terjadi tambahan produksi beras sebanyak 2 juta ton. Usaha tersebut dilakukan melaui sistem terpadu yaitu penyediaan sarana produksi dengan harga bersubsidi. Dorongan peningkatan
produksi padi juga dilakukan dengan cara menaikkan harga dasar pembelian
beras oleh pemerintah (HPP) melalui Intruksi Presiden (Inpres) nomor 3 tahun
2007. Berdasarkan Inpres tersebut HPP Gabah kering panen (GKP) naik dari
Rp. 1.723,- menjadi Rp. 2.000,- per Kg, Gabah kering giling (GKG) naik dari
Rp. 2.280,- menjadi Rp. 2.575,- per Kg, dan beras naik dari Rp. 3.550,- menjadi
Rp. 4.000,- per Kg. Kenaikan HPP juga didukung dengan kesiapan Perum Bulog untuk membeli gabah/beras dari petani, dengan dana sebanyak Rp. 6 Triliun, yang diproyeksikan dapat membeli beras dari petani sebanyak 1,5 juta ton. Perum Bulog juga telah mempersiapkan sebanyak 4.500 orang personil yang tersebar diseluruh Indonesia dan Kapasitas Gudang yang mencapai 3 juta ton. Kesiapan Perum Bulog ini telah memberikan optimisme yang cukup besar bahwa pendapatan petani akan dapat ditingkatkan dan petani akan terdorong untuk meningkatkan produksi gabah/berasnya, sehingga target kenaikan produksi sebanyak 2 juta ton beras dapat dicapai.
Perhitungan-perhitungan tersebut memang sangat menarik untuk dikaji secara lebih mendalam karena apa yang dikemukakan sesungguhnya masih sangat sederhana dan cenderung mengesampingkan banyak faktor yang lainnya, yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pendapatan petani. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1) Sebagian besar petani adalah mereka yang tergolong dalam kelompok pengusaha mikro dan pengusaha kecil, dengan kesiapan permodalan yang sangat sedikit sehingga akan sangat mudah dipengaruhi oleh flutuasi harga gabah/beras yang akan dijualnya;
2) Pola produksi dan konsumsi beras yang sudah beralih dari menyimpan gabah ke menjual gabah pada waktu panen (menurut Supriadi 1991 sebagian lebih dari
90% gabah petani di Propinsi Jawa Timur di jual pada saat panen di sawah). Dalam hal ini bahkan menurut Soemardjan (1989) 64% petani menjual gabah
dengan sistem tebasan (semasih belum di panen);
3) Kecenderungan Perum Bulog untuk membeli beras dan bukan gabah sehingga petani harus mempunyai modal tambahan untuk melakukan proses gabahnya menjadi beras;
4) Keterbatasan kemampuan Perum Bulog untuk berhubungan langsung dengan
petani dan hanya berhubungan dengan mitra usahnya yaitu para pedagang besar
di tingkat kabupaten;
5) Perubahan Status Bulog dari Badan menjadi Perum yang berorientasi pada profit, sehingga tidak memungkinkan bagi Perum Bulog menjual beras di bawah harga beli. Sedangkan diketahui bahwa pada musim musim panen harga beli Perum Bulog sering berada di atas harga pasar;
6)Pemilikan sarana, ketersediaan personil dan mekanisme kerja Bulog dalam pembelian gabah beras petani belum menjamin dapat dilaksanakannya pembelian gabah/beras langsung dari petani; 7) Dari ke tujuh masalah di atas, maka bentuk dan pola pemasaran beras di dalam negeri cenderung bersifat oligopoli, di mana kelompok pedagang menjadi penentu harga (price maker), sedangkan petani hanya berperan sebagai penerima harga (price taker). Dari
berbagai masalah tersebut, fungsi Perum Bulog sebagai lembaga penyangga harga (Price buffer) dengan segala keterbatasannya, bisa diragukan efektifitasnya. Departemen Pertanian lebih lanjut menginformasikan bahwa pada Bulan Maret, April dan Mei dilakukan panen masing masing pada lahan seluas 1,45 juta Ha, 1,9 juta Ha dan 1,55 juta Ha (Harian Republika tanggal 22 April 2007).
Dengan perkataan lain selama tiga bulan ini saja, dengan asumsi produksi per
Ha sebesar 4 ton, akan dihasilkan gabah kering giling sebanyak 19,6 juta Ton. Jika produksi gabah tersebut dikonversi dalam bentuk beras maka setiap bulannya akan ada produksi beras sebanyak 60% x 19,6 juta ton, atau sebesar
11,76 juta ton. Jika dari jumlah tersebut 90% dijual ke pasar bebas, maka pasar
akan menampung produksi sebanyak 10,584 juta ton. Dari data yang dikeluarkan BPS tahun 2006 diketahui bahwa konsumsi beras per orang perbulan pada 2005 rata-rata sebanyak 10 Kg Dengan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 220 juta, maka selama 3 bulan tersebut akan dikonsumsi
sebanyak 6,6 juta ton. Dengan demikian kelebihan produksi adalah sebesar 3,984 juta ton, sedangkan Perum Bulog hanya mampu menampung sebanyak 1,5 juta ton (27,61%). Akibatnya akan ada surplus pasar sebanyak 2,484 juta ton. Yang menjadi pertanyaan adalah:
1) Apakah jumlah surplus yang lebih besar dari daya tampung Bulog (suplai di pasar meningkat, sedangkan demand tetap), tidak mempengaruhi keseimbangan pasar, yang secara langsung akan menurunkan harga beras ditingkat petani?;
2) Apakah Perum Bulog dapat menjual langsung produk yang sudah dibelinya ke pasar bebas, agar cashflownya tidak terganggu ?;
3) Apakah Perum Bulog sudah mempersiapkan, sarana, personil dan mekanisme pembelian gabah/beras langsung dari petani ?
Setelah satu bulan HPP baru ditetapkan dan panen mulai terjadi dibeberapa daerah terlihat adanya kecenderungan bahwa nasib petani tidak banyak berubah. Pada awal musim panen ada kecenderungan harga meningkat dan berada di atas HPP yang ditetapkan seperti yang terlihat di Indramayu Jawa Barat, dimana harga GKG pernah menyentuh Rp. 2.700,- per kilogram, tetapi setelah panen berjalan satu minggu harga turun sampai dengan Rp. 1.800,- per Kg. Demikian juga yang terlihat di Jawa Timur. Sampai dengan akhir April tahun 2007, setelah panen diperkirakan mencapai 1 juta ton GKG dan Perum bulog Regional Jawa Timur mentargetkan dapat menyerap Gabah Beras sebanyak 650.400 ton ternyata baru teralisir sebanyak 12.200 ton atau 1,876% dari yang ditargetkan.
Fenome di atas menimbulkan banyak pertanyaan yang bisa membuat orang pesimis. Demikian juga dengan kesiapan personil Bulog yang jumlahnya hanya 4.500 orang, sedangkan jumlah desa di Indonesia sekarang ini sudah lebih dari 90.000 unit. Dengan perkataan lain akan menimbulkan pertanyaan apakah satu orang personil Perum Bulog dapat melayani 20 desa atau lebih. Data di atas
sudah menjawab pertanyaan ini, tetapi semua pertanyaan tersebut di atas akhirnya mungkin akan bermuara pada pertanyaan dasar yaitu : ”Apakah
peningkatan produksi beras nasional hanya ditujukan untuk mencukupi kebutuhan beras dalam negeri, dengan mengesampingkan tujuan pemberdayaan petani sebagai UMKM yang perlu dilindungi kepentingan ekonominya dan Apakah kebijaksanaan ini sudah dilengkapi dengan kesiapan sistem kelembagaannya”.
Dalam upaya mendukung program pengadaan beras nasional ini memang Perum Bulog sudah merangkul banyak pihak terutama para pedagang beras ditingkat Kabupaten dan juga koperasi Pertanian (Koptan). Dalam hal ini Perum bulog juga sudah menjalin kerjasama dengan Induk Koperasi Pertanian (Inkoptan). Yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana kapasitas Inkoptan
dan Koptan tersebut dapat mendukung mekanisme pengadaan gabah beras oleh
Perum Bulog ?  Diketahui bahwa Koptan belumlah memiliki pengalaman karena baru mulai dibentuk pada tahun 1999. Koptan juga tidak memiliki sarana yang memadai untuk melaksanakan kegiatan yang cukup besar dan cukup rumit
tersebut. Dalam hal ini timbul pertanyaan lagi mengapa Perum Bulog tidak merangkul Koperasi Unit Desa (KUD), yang notabene sudah memiliki pengalaman dan sarana pendukung yang cukup banyak baik berupa Gudang
Lantai Jemur dan Kios (GLK) maupun Huler dan berbagai sana pendukung lainnya.


II. Potensi Dan Kendala Koperasi
Keikutsertaan Koperasi dalam Program Swasembada Pangan sudah dimulai sejak tahun 1974 dengan didirikannya Badan Usaha Unit Desa yang kemudian berubah nama menjadi Koperasi Unit Desa. Selama lebih dari 30 tahun tahun KUD secara aktif telah dilibatkan dalam kegiatan tersebut, tidak saja dalam pengadaan gabah/beras untuk menudukung stok beras nasional, tetapi juga dilibatkan dalam penyediaan sarana produksi padi (saprodi), pengolahan hasil dan pemasarannya kepasaran umum (pasar bebas). Potensi Koperasi yang dalam hal ini KUD dalam kegiatan pengadaan Gabah dan beras dalam beberapa Dasawarsa yang lalu memang cukup besar, baik dilihat dari ketersedian sarana, maupun ketersedian personil. Demikian juga sesungguhnya KUD mempunyai keterikatan usaha yang sangat kuat dengan petani, walaupun keberhasilan KUD pada waktu itu belum lagi optimal.
Disamping potensi yang dimiliki KUD juga menghadapi banyak kendala dan permasalahan baik yang bersifat internal seperti kejujuran pengelola KUD dalam menggunakan dana pengadaan gabah/beras yang bersumber dari pinjaman pemerintah (dengan subsidi bunga), maupun masalah eksternal antara
lain hubungan dengan komponen sistem lainnya seperti dengan petani dan Perum Bulog, yang tidak selalu kondusif. Pola hubungan dengan petani seharusnya dapat ditingkatkan seandainya KUD dapat membeli langsung gabah
beras dari petani, tetapi pola pembelian seperti ini yang kemudian dikenal dengan Pola I, hampir tidak pernah dilakukan oleh KUD, karena adanya banyak
kendala antara lain;
a) petani sudah menjual dengan sistem tebasan;
b) petani tidak memiliki lagi lumbung-lumbung untuk menyimpan gabah sehingga harus menjual gabahnya langsung di sawah sedangkan KUD dihadapkan padamasalah keterbatasan sarana angkutan dan personil agar dapat langsung membeli gabah petani di sawah, serta kebiasaan KUD untuk bekerjasama dengan para pedagang pengumpul (yang umumnya juga UMK yang anggota KUD).
Kebiasaan sebagian besar KUD untuk membeli gabah/beras dari pedagang pengumpul atau memberikan pinjaman modal kepada para pedagang pengumpul nampaknya tidak dapat dijadikan justifikasi bahwa KUD belum
memberikan dampak positif bagi para anggotanya. Hal ini dapat dibuktikan
dengan besarnya fluktuasi harga di tingkat petani dari tahun 1983 samapai dengan tahun 1998 yang dikeluarkan oleh Badan Litbang Koperasi Departemen
Koperasi dan UKM pada tahun 1999. Fluktuasi rata-rata selama 15 tahun tersebut hanya sebesar 8,91% dengan yang tertinggi 11,29% tahun 1991 dan
terendah 6,64% tahun 1996. Angka fluktuasi ini akan sangat berbeda juka dibandingkan dengan keadaan tahun 2004 samapi dengan tahun 2006 yang ratarata mencapai 17,89%. Dari data diatas mungkin dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa keikutsertaan KUD dalam pengadaan gabah beras stok nasional dapat menekan fluktuasi harga yang secara langsung mengurangi kerugian petani. Dari sini selanjutnya dapat dikemukakan bahwa sesungguhnya KUD mempunyai potensi untuk menjadi stabilisator harga ditingkat petani, dan apa yang dilakukan KUD dalam pelaksanaan program ini seperti kerjasama sama dengan para pedagang pengumpul masih bisa ditolerir, karena para pedagang itu sendiri adalah kelompok UMKM yang notabene juga adalah anggota KUD. Yang tidak dapat ditolerir adalah kerjasama KUD dengan para pedagang besar yang dikenal dengan istilah Sleeping patner. Tetapi kasus ini relatif kecil dan dari hasil penelitian Badan litbang koperasi tahun 1995 diketahui kasus tersebut hanyamelibatkan 12,8% KUD yang ikut dalam Program Pengadaaan Pangan, terutama di daerah-daerah sentra produksi seperti di Pulau Jawa dan Sulawesi Selatan. Hal inipun terjadi karena adanya pembatasan dan aturan yang dikeluarkan oleh Bulog yang sangat ketat dalam hal pemenuhan kualitas gabah beras yang disetorkan oleh KUD.
Berbeda dengan kondisi sebelum tahun 2000-an, sekarang Perum Bulog secara terang-terangan menyatakan telah mampu memenuhi 16% dari target pengadaan/Beras produksi dalam negeri melalui usaha kemitraan dengan para
pedagang beras ditingkat kabupaten (biasa disebut pemilik tempat penampungan gabah/beras atau TP) yang merupakan patner usahanya. Kerjasama dengan para pedagang ini jelas legal apalagi menghadapi era keterbukaan yang memungkinkan Perum Bulog dapat bekerjasama dengan siapa saja yang bisa mendukung tujuan pemenuhan stok beras nasional. Yang menjadi pertanyaan apakah dengan pola ini harga gabah ditingkat petani sudah membaik, sehingga dapat mendorong petani untuk lebih meningkatkan lagi produksi gabahnya. Untuk mendapatkan jawaban kongkrit atas pertanyaan ini mungkin masih memerlukan waktu satu atau dua tahun kedepan, tetapi yang pasti fluktuasi harga yang cukup besar ditingkat petani merupakan indikasi awal bahwa petani masih menjadi komponen sistem yang terlemah (hanya sebagai price taker) dalam sistem perberasan. Dalam hal ini mungkin dapat disitir pernyataan Sweezi (1978) yang mengatakan bahwa dalam suatu sistem, in-efisiensi yang terjadi dalam sistem tersebut akan ditanggung oleh komponen sistem yang terlemah. Hal inilah yang patut diwaspadai, karena bila terjadi maka petani tidak akan dapat banyak menerima manfaat dari kebijakan perberasan yang sekarang berlaku dan berakibat pada tidak adanya rangsanga bagi petani untuk meningkatkan produksi beras.
Permasalahan diatas nampaknya merupakan derivasi dari masalah pokok dalam sistem perberasan di Indonesia selama lebih dari enam puluh tahun, yaitu belum adanya kelembagaan yang berfungsi optimal dalam mengatur pendistribusian sumberdaya dan margin dari sistem perberasan diantara semua komponen sistem dalam sistem tersebut yaitu petani produsen, konsumen dan pedagang. Di era orde baru koperasi ditetapkan sebagai kelembagaan dalam sistem perberasan, tetapi peran koperasi belum juga dinilai optimal karena masih adanya berbagai kendala yang seharusnya dapat diselesaikan melalui kebijakan yang bersandar pada konsep optimalitas dan bukan maksimalitas peran dari lembaga tersebut. Koperasi dalam hal ini memang merupakan kumpulan orang yang memiliki kepentingan yang sama (homogen). Orangorang tersebut bersatu dalam wadah koperasi untuk meningkatkan kesejahteraannya, dalam arti bila petani, maka yang diinginkan adalah mendapatkan harga jual yang lebih baik, sehingga margin yang diterima akan lebih besar. Sedangkan bagi konsumen yang diinginkan adalah harga beli yang rendah. Dengan demikian menyatukan kedua keinginan tersebut dalam satu wadah kelembagaan nampaknya akan mendapatkan kesulitan, oleh sebab itu diperlukan dua bentuk kelembagaan koperasi yaitu koperasi produsen atau koperasi petani dan koperasi konsumen.
Konsepsi yang demikian mendudukkan koperasi sebagai badan usaha yang memiliki peran strategis bagi anggotanya baik petani maupun konsumen. Dalam era orde baru selama lebih dari duapuluh tahun, koperasi terutama KUD mampu memposisikan diri sebagai lembaga yang diperhitungkan dalam program pengadaan pangan nasional. Peran KUD juga mau atau tidak mau harus diakui secara langsung telah mendukung keberhasilan pencapaian swasembada beras pada tahun 1985. Demikian juga jumlah produksi petani harus diakui secara signifikan dipengaruhi oleh ketersediaan prasarana dan sarana produksi mulai dari pupuk, bibit, obat-obatan, RMU yang juga dilakukan oleh KUD. Demikian juga keterlibatan KUD dalam pemasaran gabah atau beras telah membantu stabilitas harga gabah di tingkat petani. Peran koperasi dari sisi konsumen, menyangkut ketersediaan bahan pangan bagi konsumen terutama diperkotaan memang belum sebesar peran KUD di pedesaan dan hal ini berkaitan langsung dengan sistem pemasaran beras di perkotaan yang merupakan pasar bebas dan lebih berorientasi pada kualitas dan bukan kuantitasnya ,Memperhatikan keberhasilan koperasi dalam mendukung sistem perberasan di Indonesia dan perubahan kebijakan yang secara tidak langsung telah menghapus peran tersebut memang seharusnya dapat dijadikan sebagai bahan kajian dalam menyelesaikan masalah perberasan yang dihadapi sekarang ini. Sebelum krisis di tahun 1997 terdapat lebih dari delapan ribu koperasi yang turut berperan dalam mendukung program pengadaan pangan nasional. Dalam era reformasi jumlah dengan perubahan kebijakan terutama setelah tahun 2003 terjadi penurunan menjadi kurang dari 2000 koperasi. Peran koperasi tersebut juga tidaklah sebesar sebelumnya karena tidak adanya dukungan kredit dari pemerintah, baik untuk tujuaan penyediaan sarana produksi maupun untuk
pengadaan gabah beras dari petani. Perubahan kebijakan ini juga telah mendorong koperasi untuk melakukan inovasi anatara lain dengan membangun
model-model pelayanan dalam bidang pangan seperti bank padi, lumbung pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi.
Perubahan kebijakan pemerintah dalam distribusi pupuk dan pengadaan beras memberikan dampak serius dalam mendukung produksi padi nasional. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor : 356/MPP/KEP/5/2004 yang membebaskan penyaluran pupuk dilakukan baik
oleh swasta maupun koperasi/KUD Indikasi yang terlihat dari ketidak populeran
dari kebijakan ini adalah timbulnya masalah kelangkaan persediaan pupuk, harga pupuk yang sering jauh lebih tinggi di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).
Demikian juga terjadi kecenderungan monopoli penyaluran pupuk oleh swasta.
Peran koperasi/KUD dalam penyaluran pupuk menurun drastis karena koperasi tidak didukung lagi oleh ketersediaan dana dari kredit pemerintah untuk pembelian pupuk. Penurunan peran koperasi terlihat dari hanya 40% atau 930
unit dari 2.335 KUD (saat koperasi/KUD memiliki kewenangan penuh) terlibat
dalam tataniaga pupuk. Dalam kenyataannya jumlah inipun sulit teridentifikasi.
Dalam hal penanganan ketersediaan pangan, penurunan jumlah koperasi dari 8.427 koperasi sebelum krisis (tahun 1997) menjadi 7.150 koperasi setelah krisis (tahun 2000) juga merupakan indikasi penurunan peran koperasi dalam
menunjang ketahanan pangan (Kementrian Koperasi dan UKM, 2003). Padahal
koperasi selama ini telah memiliki sejumlah fasilitas penunjang (gudang, lantai
jemur, RMU, dan lain-lain) yang mendukung pengadaan produksi gabah/beras,
dan koperasi mewadahi sejumlah besar petani padi. Akumulasi kelangkaan dan
kenaikan harga pupuk dengan penurunan peran koperasi berdampak serius bagi
peningkatan produksi gabah/beras petani, dan mengindikasikan bahwa kemampuan ketahanan pangan dari sisi penawaran (supply side) melemah. Kekurangan produksi gabah/beras di dalam negeri memaksa dilakukannya impor beras yang berarti kerugian ganda. Di satu sisi merupakan pengeluaran
devisa untuk tujuan konsumtif, sedangkan disisi yang lain potensi sumberdaya
nasional berupa lahan, dan tenaga manusia (SDM) tidak termanfaatkan dengan
optimal. Kondisi ini tidak terlepas dari konsepsi pembangunan nasional yang
cenderung masih berorientasi pada sektor industri untuk mengejar pertumbuhan
dalam waktu cepat. Dalam kondisi mekanisme pasar yang belum menjamin posisi petani, dan bahkan belum tentu juga menjamin ketersediaan pangan nasional, koperasi hadir mengangkat posisi petani dan dapat menjamin ketersediaan pangan nasional. Koperasi yang selama ini sudah eksis sebenarnya memiliki peran mendasar dalam penguatan ekonomi petani yakni melalui penjaminan ketersediaan pupuk dan harga terjangkau bagi petani, penanganan dan pengolahan gabah petani di saat surplus maupun defisit produksi, penjaminan nilai tukar dan income petani, membuka berbagai akses teknologi, informasi, pasar, dan bisnis kepada petani. Dalam tujuan ketahanan pangan, koperasi telah mengembangkan beberapa model pengamanan persediaan pangan diantaranya model bank padi, lumbung pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi. Model model ini berperan menjamin persediaan gabah/beras baik di daerah sentra produksi maupun daerah defisit pangan dan sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap impor beras yang sebenarnya secara substansial mengancam ketahanan nasional. Karena itu bagaimana memerankan koperasi sebagai lembaga ekonomi petani dan penguatan agribisnis di dalam
perekonomian pasar sangatlah diperlukan.


III. KEIKUTSERTAAN KOPERASI DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN UMKM
Ketahanan pangan dipandang sebagai hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan nasional untuk membentuk manusia Indonesia berkualitas, mandiri, dan sejahtera. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu diwujudkan ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau oleh daya beli masyarakat (Dewan Ketahanan Pangan, 2002).
Ketahanan pangan menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996, diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Beras hingga kini masih merupakan salah satu komoditi pangan pokok bagi masyarakat Indonesia dan merupakan komoditi strategis bagi pembangunan nasional. Pengalaman pada periode-periode awal pembangunan di tanah air menunjukkan bahwa kekurangan beras sangat mempengaruhi kestabilan pembangunan nasional. Bahkan hingga kini, bukan saja pada tingkat nasional,
daerah, dan rumahtangga tetapi juga tingkat internasional dimana terlihat besarnya dampak yang ditimbulkan akibat kekurangan persediaan pangan beras.
Dalam rangka menghindari dan sekaligus mengatasi akibat kekurangan pangan pokok ini, tidaklah mengherankan jika pemerintah telah mengambil langkah-langkah kebijakan dengan melibatkan sejumlah besar departemen dan instansi pemerintah untuk mengatur dan mendorong ketahanan pangan di Dalam Negeri. Departemen Koperasi adalah salah satu departemen yang sejak lama telah ditugaskan untuk menangani dan menyeleggarakan persediaan pangan khususnya beras bagi masyarakat. Dengan tanggung jawab ini dan disertai dukungan pemeritah, Departemen Koperasi telah menumbuhkembangkan kegiatan usaha dan bisnis koperasi di tengah masyarakat. Usaha koperasi yang
sudah berjalan, telah menjangkau berbagai kegiatan usaha golongan ekonomi
lemah dan telah berkembang luas ke berbagai pelosok Tanah Air. Sejumlah fakta menunjukkan bahwa keberadaan organisasi koperasi disektor pertanian diakui atau tidak sangat membantu petani dalam proses produksi pangan baik padi maupun palawija. Keberhasilan program Bimas dan Inmas di masa lalu tidak terlepas dari peranserta koperasi/KUD sejak dari penyediaan prasarana dan sarana produksi sampai dengan pengolahan hingga pemasaran produk.
Meskipun demikian kini terjadi perubahan seiring berlangsungnya era globalisasi dan liberalisasi ekonomi. Untuk lebih mendorong dan mempercepat
pencapaian ketahanan pangan, pemerintah kini telah mengeluarkan sejumlah
kebijakan untuk penyaluran pupuk dan pengadaan beras. Pengambilan kebijakan ini dianggap perlu untuk mempermudah ketersediaan pupuk di lokasi petani dan penggunaannya dengan harga terjangkau, serta pengadaan gabah/beras yang menjamin persediaan Dalam Negeri. Diharapkan dengan kebijakan ini petani dapat meningkatkan produksi gabah mereka yang berarti pada satu sisi menjamin persediaan gabah/beras di dalam Negeri dan pada sisi lain meningkatkan income mereka. Sementara di sisi pengadaan, dengan kewenangan luas yang diberikan kepada berbagai lembaga untuk terlibat dalam
pengadaan pangan akan menjamin stabilitas persediaan Dalam Negeri. Secara umum, tujuan kebijakan yang diambil adalah baik, tetapibeberapa konsekuensi kini mulai muncul. Sebagai contoh, kebijakan penyaluran pupuk (Kepmen Perindag Nomor : 356/MPP/KEP/5/2004) memberikan kewenangan pada pihak-pihak swasta dan koperasi/KUD sebagai penyalur/pengecer pupuk ke konsumen. Berbeda dengan kebijakan sebelumnya (Kepmen Perindag Nomor : 378/MPP/KEP/8/1998), kebijakan baru ini tidak lagi memberikan kewenangan penuh kepada koperasi/KUD untuk menyalurkan pupuk, yang berarti peran koperasi/KUD dalam penyaluran pupuk kini menurun.
Perubahan kebijakan ini memiliki konsekuensi dalam jangka pendek mengganggu sistem distribusi pupuk yang selanjutnya mengganggu ketersediaan pupuk bagi para petani. Kekurangan ketersediaan pupuk akan mengganggu produksi gabah petani. Kekurangan ketersediaan pupuk dan penurunan produksi gabah merupakan dua aspek yang saling mengikat. Karena
itu kekurangan pupuk sudah tentu mengancam produksi petani, dan selanjutnya
kekurangan beras mengancam ketahanan pangan yang akan berlanjut pada akibat kerawanan sosial. Penurunan kuantitas produksi petani berarti juga penurunan pendapatan mereka dan menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan
petani menurun. Secara nasional, penurunan produksi beras di satu sisi dan
peningkatan permintaan beras di sisi lain akan membuka kran impor. Dalam
jangka pendek impor beras berguna mengatasi kekurangan persediaan dalam
negeri, tetapi dalam jangka panjang menguras sumberdaya domestik (menguras
devisa) dan melemahkan stabilitas nasional. Konsekuensi perubahan kebijakan yang mengganggu sistem distribusi pupuk akan terlihat pada ketidaklancaran distribusi pupuk itu sendiri. Pemberian kebebasan kepada berbagai pihak untuk menyalurkan pupuk di satu sisi sementara di sisi lain pupuk sendiri merupakan “input/barang publik”, akan merugikan individu masyarakat (petani) yang menggunakannya secara enam tepat. Hal ini muncul disebabkan karena terjadi monopoli dan tindakan-tindakan lainnya untuk mengambil keuntungan sendiri dan merugikan para pelaku lain.
Hal ini nyata dan telah dirasakan oleh petani yang kesulitan mendapat pupuk
dengan harga di atas HET. Di sisi lain koperasi/KUD yang terkena dampak kebijakan tersebut telah menghadapi kondisi “idle capacity.” Indikasi idle capacity koperasi juga terlihat pada penurunan jumlah koperasi yang berfungsi
melayani kegiatan pengadaan pangan.
Keseluruhan konsekuensi ini menunjukkan bahwa perubahan suatu kebijakan dapat menguntungkan sebagian pelaku tetapi juga merugikan pelaku lain. Just et al (1982) mengatakan intervensi pemerintah ke pasar melalui suatu kebijakan yang bertujuan membantu salah satu pelaku (produsen atau konsumen) tidak selamanya membuat pasar menjadi seimbang (menguntungkan kedua pihak). Ketidakseimbangan pasar ini muncul sebagai akibat perubahan perilaku setiap pelaku dalam merespon perubahan yang terjadi di pasar. Perubahan perilaku para pelaku pasar terlihat dari berubahnya keputusankeputusan mereka dan teridentifikasi dalam aspek-aspek seperti terjadi excess demand dan shortage supply atau sebaliknya, harga pasar yang meningkat atau menurun, serta peningkatan atau penurunan fungsi kedua pelaku beserta lembaga yang membawahinya. Selalu terdapat konsekuensi dari intervensi pemerintah ke pasar melalui kebijakan yang diambil, tetapi yang terpenting adalah tujuan yang hendakdicapai. Jika tujuannya adalah peningkatan produksi untuk menjaga stabilitas ketersediaan pangan dalam negeri, maka pemerintah harus menyediakan anggaran/biaya untuk mengkompensasi konsekuensi yang timbul akibat perubahan kebijakan yang diambil itu. Anggaran/biaya dimaksud disebut
sebagai biaya pengadaan produksi pangan. Kompensasi ini memiliki arti ada
resiko yang harus dibayar sebagai akibat kesalahan pengambilan kebijakan. Dengan demikian, jika kebijakan distribusi pupuk yang diambil teridentifikasi
sangat kuat mengancam produksi petani (karena petani sebagai pelaku utama
supply side) maka secara substansial kebijakan tersebut tidak layak.
Mempelajari perilaku para pelaku pasar yakni koperasi/KUD dan nonkoperasi
(swasta) dalam distribusi pupuk, akan diketahui keputusan-keputusan yang mereka ambil. Dapat juga diketahui seberapa besar penawaran dan permintaan pupuk pada masing-masing pihak, apakah terjadi excess demand dan excess supply pupuk, dan seberapa besar harga pupuk di pasar berada di atas HET. Apakah penyaluran pupuk oleh masing-masing pelaku sampai ke tanganpetani sesuai prinsip enam tepat? Juga dapat dibandingkan pelaku mana yangmenyalurkan pupuk sesuai tujuan kebijakan distribusi pupuk. Ketimpangan peran koperasi akibat idle capacity yang dialami berpeluang mengganggu pencapaian ketahanan pangan. Hal ini disebabkan karena :
(1) koperasi berperan dalam pembinaan produksi gabah petani (secara tidak langsung melalui penyaluran pupuk),
(2) koperasi melakukan pengadaan dan pengolahan gabah/beras petani, dan
(3) koperasi menyalurkan beras kepada konsumen. Mengenai pembinaan produksi, koperasi membawahi sekian banyak petani sehingga penyaluran pupuk yang tepat akan memberikan jaminan bagi produksi petani. Dalam pengadaan dan pengolahan gabah/beras, sering terjadi surplus produksi disaat panen raya yang menyebabkan harga gabah jatuh, dan kualitas gabah rendah seiring musim penghujan di saat panen. Untuk menjamin nilai tukar petani, mengatasi penurunan kualitas gabah/beras, dan menjamin bahwa surplus gabah tersebut aman untuk tersedia dengan kualitas dan kuantitas yang dikehendaki bagi ketahanan pangan, koperasi hadir dengan perannya. Koperasi telah mengembangkan model bank padi, lumbung pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi yang berfungsi mengatasi kesulitan-kesulitan petani memasuki mekanisme pasar dan menjamin pengadaan gabah/beras bagi ketahanan pangan.


IV. PENUTUP
Perubahan kebijakan dibidang perberasaan yang dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 2001 ternyata telah membangun mekanisme pasar gabah/beras menjamin posisi petani, yang sekaligus juga tidak menjamin ketersediaan beras untuk stok nasional. Sumbangan koperasi baik dalam mendukung pendapatan petani dan ketersedian stok beras nasional juga semakin terbatas. Kondisi kekurangan stok telah terasa selama dua tahun belakangan ini juga ternyata belum mampu merubah persepsi terhadap kepentingan peran koperasi untuk kembali menjadi salah satu komponen penting dalam sistem perberasan nasional. Dalam kondisi seperti itu ternyata koperasi masih berusaha untuk eksis antara lain dengan mengembangkan beberapa model pengamanan persediaan pangan diantaranya model bank padi, lumbung pangan, dan sentrasentra pengolahan padi. Model-model ini berperan menjamin persediaan gabah/beras baik di daerah sentra produksi maupun daerah defisit pangan dan
sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap impor beras yang sebenarnya
secara substansial mengancam ketahanan nasional. Eksistensi koperasi ini walaupun relatif kecil tetapi menjadi indikator bahwa koperasi masih memiliki
potensi untuk kembali diikutsertakan dalam mendukung sistem perberasan.
Tinggal lagi yang diperlukan adalah adanya pemikiran logis dari para pengambil kebijakan untuk menumbuhkan kembali peran koperasi dalam mendukungprogram ketahanan pangan nasional yang secara nyata semakin tidak menentu.


DAFTAR PUSTAKA
Anonymus, (2002). Dewan Ketahanan Pangan. Kebijakan Umum Pemantapan Pangan Nasional. Dewan Ketahanan Pangan, Jakarta.

-------------, (2007). Kenaikan HPP Gabah /Beras diharapkan akan mendorong petani untuk meningkatkan produksi pad. Harian Republika tanggal 26 April tahun 2007.

Nasution Muslimin, (1991). Pengembangan Peran Koperasi senbagai kelembagaan dalam sistem penyediaan Pangan Nasional. Badan Litbang Koperasi Departemen Koperasi Dan UKM. Jakarta.

Soetrisno Noer, (1992). Mekamisme pasar gabah beras dan Permasalahan yang dihadapi Koperasi dalam mendukung program Pengadaan Pangan Stok
Nasional. Badan Litabang Koperasi UKM, Departemen Koperasi dan UKM. Jakarta.

Safuan, (1994). Kajian Efektifitas Pola Pemasaran Beras di Indonesia.


Nama Kelompok :

Dave Simanjuntak (21210703)
Fadhli Rahman Syukri (22210477)
Gita Fitriane (23210019)
I Made Wahyudi S (23210346)
Kelas; 2EB10 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar