Oleh : Jannes Situmorang
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pembinaan dan pengembangan koperasi dan UKM bertujuan untuk meningkatkan
fungsi dan perannya sebagai bagian integral dalam perekonomian
nasional. Tujuan lainnya untuk menumbuhkannya menjadi usaha yang
efisien, sehat dan mandiri dan mampu menjadi tulang punggung perekonomian
nasional. Dalam kenyataannya, koperasi dan UKM belum mampu menunjukkan perannya
secara optimal seperti yang diharapkan. Hal ini terjadi karena adanya hambatan
dan kendala yang bersifat internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap pertumbuhan
dan perkembangan koperasi dan UKM. Salah satu hambatan dan kendala dimaksud
adalah lemahnya sistem pendanaan untuk membiayai aktivitas usahanya. Koperasi
dan UKM mengalami kesulitan untuk mengakses sumber sumber permodalan atas
lembaga keuangan terutama dari sektor perbankan. Koperasi dan UKM belum mampu
memenuhi persyaratan untuk mendapatkan kredit yang biasanya diukur dengan 5C ( character, capacity, capital, collateral dan condition). Capital dan collateral adalah dua faktor yang paling sulit
dipenuhi. Selain masalah 5C di atas, koperasi dan UKM mengalami berbagai
masalah dalam memperoleh kredit bank, seperti bunga tinggi, jangkauan pelayanan
bank yang masih terbatas. Pada dasarnya Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) dapat
dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama, BMT yang didirikan Kelompok Swadaya Masyarkat (KSM) yang belum
berbadan hukum koperasi tetapi menggunakan aturan main persis seperti koperasi.
Kedua, BMT yang sudah berbadan hukum koperasi. Dengan adanya berbagai
masalah tersebut, maka perlu dilakukan kaji tindak atas peran BMT sebagai
lembaga keuangan alternatif.
2. Rumusan Masalah
Karena belum adanya penilaian terhadap kinerja lembaga keuangan
alternatif dalam mengembangkan program pemberdayaan ekonomi rakyat, maka timbul
pertanyaan berikut:
1). Apakah usaha lembaga keuangan alternatif sudah efektif dan
efisien dan
bagaimana peranannya dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM?
2). Bagaimana rumusan strategi dan program aksi peningkatan peran
lembaga
keuangan alternatif dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM?
3. Tujuan dan Manfaat
Kajian ini bertujuan untuk:
1). Mengkaji efektivitas dan efisiensi usaha lembaga keuangan
alternatif dan
peranannya dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM.
2). Merumuskan strategi dan program aksi peningkatan peran lembaga
keuangan alternatif dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM.
Hasil kajian ini dapat dimanfaatkan sebagai rekomendasi bagi
penyempurnaan
kebijaksanaan yang dapat mendorong peningkatan peran koperasi jasa
keuangan
sebagai lembaga keuangan alternatif.
II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian
Beberapa ahli mendefinisikan lembaga keuangan alternatif sebagai
lembaga pendanaan di luar sistem perbankan konvensional dengan sistem bunga.
Lembaga keuangan alternatif meliputi Perusahaan Modal Ventura, Leasing,
Factoring (anjak piutang), Guarantee Fund, Perbankan Syariah, Koperasi Syariah
dan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT). Suhadi Lestiadi (1998), menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan lembaga keuangan alternatif adalah suatu lembaga pendanaan
yang mengakar di tengah-tengah masyarakat, dimana proses penyaluran dananya dilakukan
secara sederhana, murah dan cepat dengan prinsip keberpihakan kepada masyarakat
kecil dan berazaskan keadilan. Dengan cara pandang dan pengertian lembaga
pendanaan tersebut, maka istilah koperasi jasa keuangan diartikan sebagai koperasi
yang menyelenggarakan jasa keuangan alternatif misalnya koperasi syariah dan
Unit Simpan Pinjam Syariah, Kelompok Swadaya Masyarakat Pra Koperasi termasuk
BMT, Koperasi Bank Perkreditan Rakyat Syariah, Koperasi Pembiayaan Indonesia
(KPI). Menjadi pertanyaan, siapa yang pantas disebut lembaga keuangan
alternatif? Ada yang berpendapat bahwa lembaga keuangan alternatif yang
menggunakan sistem bagi hasil dianggap sebagai sistem non konvensional
dibanding sistem bunga. Sebagian lainnya berpendapat bahwa yang menjadi
persoalan bukan sistem bagi
hasil atau sistem bunganya itu, tetapi lebih mengacu pada
kedekatan dan orientasi pelayanannya yang harus memihak pada rakyat kecil. Prinsip
dari kegiatan lembaga ini adalah memobilisasi dana dari kelompok masyarakat
yang mengalami surplus dana dan kemudian mengalokasikannya kepada kelompok masyarakat yang
kekurangan dana atau masyarakat yang deficit dana. Ada dua cara dalam menjalankan usahanya. Pertama, menganut
sistem bunga, artinya kepada setiap penyimpan diberikan bunga sebagai imbalan
atas tabungannya dan kepada setiap peminjam juga dikenakan bunga sebagai balas
jasa kepada pemilik dana. Kedua, menganut sistem syariah (bagi hasil) yang sering disebut sistem
Islam. Dalam Sistem Syariah, insentif bagi setiap penyimpan diberikan dalam
bentuk bagi hasil yang dihitung dari nisbah bagi hasil tertentu yang disepakati
kedua belah pihak. Bagi Si Peminjam, juga dikenakan sistem bagi hasil tertentu
sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
2. Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), dalam bahasa Indonesia sering disebut
dengan istilah Balai Mandiri Terpadu (BMT) merupakan salah satu lembaga pendanaan
alternatif yang beroperasi di tengah masyarakat akar rumput. Pinbuk (1995)
menyatakan bahwa BMT merupakan lembaga ekonomi rakyat kecil yang berupaya
mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kegiatan
ekonomi pengusaha kecil dan berdasarkan prinsip syariah dn koperasi. BMT
memiliki dua fungsi yaitu : Pertama,
Baitul Maal menjalankan fungsi untuk memberi santunan
kepada kaum miskin dengan menyalurkan dana ZIS (Zakat, Infaq, Shodaqoh) kepada
yang berhak; Kedua, Baitul Taamwil menjalankan fungsi menghimpun simpanan dan membeayai kegiatan
ekonomi rakyat dengan menggunakan Sistem Syariah.
Sistem bagi hasil adalah pola pembiayaan keuntungan maupun
kerugian antara BMT dengan anggota penyimpan berdasarkan perhitungan yang
disepakati bersama. BMT biasanya berada di lingkungan masjid, Pondok Pesantren,
Majelis Taklim, pasar maupun di lingkungan pendidikan. Biasanya yang
mensponsori pendirian BMT adalah para aghniya (dermawan), pemuka agama,
pengurus masjid, pengurus majelis taklim, pimpinan pondok pesantren,
cendekiawan, tokoh masyarakat, dosen dan pendidik. Peran serta kelompok
masyarakat tersebut adalah berupa sumbangan pemikiran, penyediaan modal awal,
bantuan penggunaan tanah dan gedung ataupun kantor. Untuk menunjang permodalan,
BMT membuka kesempatan untuk mendapatkan sumber permodalan yang berasal dari
zakat, infaq, dan shodaqoh dari orang-orang tersebut. Hasil studi Pinbuk (1998)
menunjukkan bahwa lembaga pendanaan yang saat ini berkembang memiliki kekuatan
antara lain:
a). mandiri dan mengakar di masyarakat,
b). bentuk organisasinya sederhana,
c).sistem dan prosedur pembiayaan mudah,
d). memiliki jangkauan pelayanan kepada pengusaha mikro.
Kelemahannya adalah :
a). skala usaha kecil,
b). Permodalan terbatas,
c). sumber daya manusia lemah,
d). sistem dan prosedur belum baku.
Untuk mengembangkan lembaga tersebut dari kelemahannya perlu
ditempuh cara-cara pembinaan sbb:
a). pemberian bantuan manajemen, peningkatan kualitas SDM dalam
bentuk pelatihan,
b).standarisasi sistem dan prosedur,
c). kerjasama dalm penyaluran dana,
d). bantuan dalam inkubasi bisnis.
3. Pola Tabungan dan Pembiayaan
1). Tabungan
Tabungan atau simpanan dapat diartikan sebagai titipan murni dari
orang atau
badan usaha kepada pihak BMT. Jenis-jenis tabungan/simpanan adalah
sebagai
berikut:
(1). Tabungan persiapan qurban;
(2). Tabungan pendidikan;
(3).Tabungan persiapan untuk nikah;
(4). Tabungan persiapan untuk melahirkan;
(5). Tabungan naik haji/umroh;
(6). Simpanan berjangka/deposito;
(7).Simpanan khusus untuk kelahiran;
(8). Simpanan sukarela;
(9). Simpanan haritua;
(10). Simpanan aqiqoh.
2). Pola Pembiayaan
Pola pembiayaan terdiri dari bagi hasil dan jual
beli dengan mark up
(1). Bagi Hasil
Bagi hasil dilakukan antara BMT dengan pengelola dana dan antara
BMT
dengan penyedia dana (penyimpan/penabung). Bagi hasil ini
dibedakan atas:
·
Musyarakah, adalah suatu perkongsian antara dua pihak atau lebih dalam suatu
proyek dimana masing-masing pihak berhak atas segala keuntungan dan bertanggung
jawab atas segala kerugian yang terjadi sesuai dengan penyertaannya
masing-masing.
·
Mudharabah, adalah perkongsian antara dua pihak dimana pihak pertama (shahib
al amal) menyediakan dana dan pihak kedua (mudharib) bertanggung jawab atas
pengelolaan usaha. Keuntungan dibagikan sesuai dengan rasio laba yang telah
disepakati bersama terlebih dahulu di depan. Manakala rugi, shahib al amal akan
kehilangan sebagian imbalan dari kerja keras dan manajerial skill
selama proyek berlangsung.
·
Murabahah, adalah pola jual beli dengan membayar tangguh, sekali bayar.
·
Muzaraah, adalah dengan memberikan l kepada si penggarap untuk ditanami
dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (prosentase) dari hasil panen.
·
Wusaqot, adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzaraah dimana si penggarapnya
bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan si
penggarap berhak atas rasio tertentu dari hasil panen.
(2). Jual Beli dengan Mark Up (keuntungan)
Jual beli dengan mark up merupakan tata cara jual beli yang dalam pelaksanaannya,
BMT mengangkat nasabah sebagai agen (yang diberi kuasa) melakukan pembelian
barang atas nama BMT, kemudian BMT bertindak sebagai penjual kepada nasabah
dengan harga sejumlah harga beli tambah keuntungan bagi BMT atau sering disebut
margin/mark up. Keuntungan yang diperoleh BMT akan dibagi kepada penyedia dan penyimpan
dana. Jenis-jenisnya adalah:
·
Bai Bitsaman Ajil (BBA), adalah proses jual beli dimana pembayaran dilakukan secara lebih
dahulu dan penyerahan barang dilakukan kemudian.
·
Bai As Salam, proses jual beli dimana pembayaran dilakukan terlebih dahulu dan
penyerahan barang dilakukan kemudian.
·
Al Istishna, adalah kontrak order yang ditandatangani bersamaan antara
pemesan dengan produsen untuk pembuatan jenis barang tertentu.
·
Ijarah atau Sewa, adalah dengan memberi penyewa untuk mengambil pemanfaatan dari
sarana barang sewaan untuk jangka waktu tertentu dengan imbalan yang besarnya
telah disepakati bersama.
·
Bai Ut Takjiri, adakah suatu kontrak sewa yang diakhiri dengan penjualan. Dalam
kontrak ini pembayaran sewa telah diperhitungkan sedemikian rupa sehingga
padanya merupakan pembelian terhadap barang secara berangsur.
·
Musyarakah Mustanaqisah, adalah kombinasi antara musyawarah dengan ijarah (perkongsian
dengan sewa). Dalam kontrak ini kedua belah pihak yang berkongsi menyertakan
modalnya masing-masing.
3). Pembiayaan Non Profit
Sistem ini disebut juga pembiayaan kebajikan. Sistem ini lebih
bersifat sosial
dan tidak profit oriented. Sumber dan pembiayaan ini tidak
membutuhkan biaya, tidak seperti bentuk-bentuk pembiayaan lainnya.
4. Pembentukan BMT
Tujuan pembentukan BMT adalah untuk memperbanyak jumlah BMT
sedangkan tujuan BMT itu sendiri adalah untuk :
1) memajukan kesejahteraan anggota dan masyarakat umum,
2) meningkatkan kekuatan dan posisi tawar pengusaha kecil dengan
pelaku lain. Proses pembentukan BMT adalah sebagai berikut:
Pertama, para pendiri minimum 20 orang. Para pendiri menghubungi PINBUK
setempat untuk mengurus perijinan pendiriannya. Kedua, mendaftarkan calon
pengelola untuk mengikuti pelatihan singkat dan magang. Ketiga, mempersiapkan modal
awal sebesar Rp. 5juta di pedesaan dan Rp.10juta di perkotaan. Keempat,jika bermaksud menjadi koperasi,
BMT dapat segera mengajukan permohonan badan hukum koperasi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan BMT adalah:
1). Motivator (penggerak), memiliki peranan yang sangat signifikan
terhadap
sukses awal pendirian BMT. Penggerak ini berasal dari masyarakat
setempat
yang atas inisiatif sendiri atau inisiatif PINBUK dan pihak lain
berminat membentuk BMT.
2). Pendekatan kepada tokoh kunci yang dapat terdiri dari pimpinan
formal,
pimpinan informal, usahawan, hartawan, dan dermawan. Para tokoh ini
diharapkan bersedia menjadi Panitia Pembentukan BMT.
3). Pendekatan kepada para calon pendiri. Pendiri minimal 20 orang
yang terdiri
dari tokoh-tokoh yang mewakili berbagai kalangan masyarakat
seperti pimpinan formal, agama, adat, pengusaha dan masyarakat banyak. Badan pendiri
mengadakan rapat dan menetapkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga BMT
serta memilih pengurus yang terdiri dari 3 – 5 orang.
4). Pengurus mengadakan seleksi pengelola yang jumlahnya minimal 3
orang
yang terdiri manajer, bagian pembiayaan, bagian
administrasi/keuangan dan
bagian-bagian lain yang dibutuhkan
5). Para pengelola yang ditunjuk segera memasyarakatkan BMT dan
mencari
anggota dan BMT mulai beroperasi.
6). Antara pengurus dan pengelola tidak mempunyai hubungan kekeluargaan.
7). Organisasi yang dapat membentuk BMT antara lain seluruh
anggota masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat, organisasi sosial, organisasi
profesi, LSM, proyek-proyek pemberdayaan masyarakat
8). Kelompok yang dapat dikembangkan menjadi BMT antara lain:
arisan,
simpan pinjam, pengajian, tani, usaha ekonomi produktif dan
lain-lain.
Sumber : Kajian Balitbangkop, PMK dan Pinbuk (1998)
5. Pembiakan BMT
BMT yang sudah mapan dan mempunyai pengelola yang terampil
diharapkan dapat membentuk BMT baru di luar wilayah kerjanya. Langkah-langkah
membentuk BMT adalah :
1) BMT yang sudah mapan sebagai BMT induk menempatkan seorang atau
lebih pengelola yang terampil sebagai manajer BMT di wilayah kerja baru,
2) BMT induk memfasilitasi pembentukan BMT baru dan menyediakan sarana
dan prasarana,
3) Pengelola BMT baru dibawah bimbingan BMT induk menyosialisasikan
BMT pada masyarakat sekitar dan mulai beroperasi,
4) Pengelola BMT baru memperkuat BMT-nya dengan merekrut pendiri,
membentuk pengurus dan menghimpun modal awal dari masyarakat sekitar. BMT induk
bisa melepas BMT baru apabila BMT baru sudah kuat dan mandiri.
III. METODE KAJIAN
1. Lokasi dan Objek Kajian
Kajian dilaksanakan di 9 (sembilan) propinsi yang meliputi :
Sumatera Selatan,
Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur,
Bali, NTB dan Sulawesi Selatan. Objek telitian adalah BMT dan yang akan
diteliti adalah aspek kelembagaan dan keuangan usaha BMT itu sendiri.
2. Jenis Data
Jenis data yang dibutuhkan adalah data primer dan data sekunder.
Data primer
diperoleh dari lapangan yang berpedoman pada kuesioner yang sudah
dipersiapkan sebelumnya, sedangkan data sekunder diperoleh dari laporan
instansi terkait, baik di pusat maupun di daerah.
3. Penarikan Sampel
BMT, baik yang berbentuk KSM maupun koperasi di masing-masing
propinsi
dijadikan sebagai sampel, dengan total sampel 74 buah. Penarikan
sampel (sampling) dilakukan dengan purposive atas BMT yang berada di lingkungan
lembaga-lembaga keagamaan.
4. Model Analisis.
Data yang sudah terkumpul dari lapangan akan dianalisis dengan
menggunakan analisa deskriptif.
5. Organisasi Pelaksana dan Pembiayaan
Kajian ini ditangani satu tim yang terdiri dari Koordinator,
Peneliti, Asisten Peneliti dan Staf Administrasi yang dibiayi dari Anggaran Pembangunan
Belanja Negara.
IV. HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN
Jumlah sampel yang diteliti sebanyak 74 BMT, dimana 71%
diantaranya dalam
bentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan 29% dalam bentuk
koperasi. Pada saat penelitian dilakukan, sebagian KSM sedang dalam proses
mendapatkan Badan Hukum Koperasi. Pengamatan di lapang menunjukkan bahwa
mekanisme kerja antara kedua bentuk badan hukum tersebut sama. Dengan demikian
yang mempengaruhi output kedua lembaga tersebut bukan terletak pada bentuk
badan hukumnya tetapi ditentukan semata-mata oleh kemampuan Para Pengelola BMT.
Dalam penelitian ini, yang akan dianalisis secara mendalam adalah
kinerja Lembaga Keuangan Alternatif dan Kesehatan Kelembagaan dan Keuangannya.
1. Kinerja Lembaga Keuangan Alternatif
Faktor-faktor yang dianalisis meliputi :
1). Pelayanan mudah, murah dan cepat,
2).Pertumbuhan asset BMT,
3). Kemampuan menyediakan pembiayaan,
4). Kebutuhan tambahan modal,
5). Mobilisasi tabungan,
6). kemampuan menghasilkan laba,
7).Sarana Usaha.
2. KESEHATAN KELEMBAGAAN DAN KEUANGAN
Salah satu cara untuk melihat keberhasilan lembaga keuangan
alternatif adalah dengan melihat kinerja kesehatan kelembagaan dan keuangan.
Sebagai pedoman penilaian digunakan metoda yang dipakai PINBUK dalam menilai
BMT. Fokus yang dinilai adalah aspek jasadiah (yang terlihat), sedangkan aspek
ruhiyah (yang tak tampak dari permukaan) tidak dinilai.
1). Kesehatan Kelembagaan
Proses penilaian kelembagaan BMT dimulai dengan mengelompokkan beberapa
faktor atau komponen dasar yang diperkirakan sangat dominan mempengaruhi
kinerja kelembagaan BMT. Penilaian kesehatan kelembagaan BMT dapat diwakili
faktor-faktor berikut:
(A). Peran serta masyarakat dalam pendirian BMT,
(B). Tingkat kemandirian,
(C). Keaktifan pengurus BMT, dan
(D). Kualitas pengelola.
(A). Peran Serta Masyarakat Dalam Pendirian BMT
Proses pendirian BMT sangat memperhatikan tidak saja aspek ekonomi
tetapi yang lebih penting adalah memperjuangkan nilai-nilai syariah yang
diyakini para pendirinya dapat menolong kaum dhuafa terutama yang lemah
ekonomi. Faktor kesediaan para pendiri memberikan modal awal sangat menentukan
masa depan keberadaan BMT. Peranan tokoh masyarakat sangat dominan dalam
pendirian BMT. Peranan para tokoh ini dapat dilihat dari jumlah orang yang
mendirikan BMT. Semakin banyak pendiri BMT, diasumsikan semakin sehat BMT yang bersangkutan.
Sebaliknya, semakin sedikit pendiri BMT, diasumsikan semakin tidak sehat BMT
tersebut. Pendiri dianggap banyak bila
pendirinya lebih dari 20 orang dan dianggap sedikit jika
pendirinya kurang dari 20 orang.
(B). Tingkat Kemandirian
Hasil pengamatan lapang menunjukkan, semua BMT yang diteliti
dibentuk atas swadaya masyarakat, tokoh masyarakat, alim ulama,
pengurus majelis taklim. Para pendiri ini menyediakan modal
seadanya,
yakni berkisar antara kurang dari Rp.2juta s/d lebih Rp.10juta
(C). Keaktifan Pengurus BMT
Secara ideal untuk menilai keaktifan pengurus harus dilakukan
pengamatan secara terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama.
Namun, karena hal ini tidak bisa dilakukan karena keterbatasan
waktu
dan sumberdaya lainnya maka peneliti menggunakan variabel
kehadiran
sebagai pendekatan untuk menjelaskan keaktifan pengurus. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kehadiran pengurus yakni ketua,
sekretaris dan bendahara relative baik.
(D). Kualitas Pengelola
Pengelola BMT terdiri dari manajer, bagian keuangan, bagian pembiayaan
dan penagihan, serta sekretariat. Masing-masing pengelola mempunyai tanggung
jawab dan wewenang. Pengelola yang bermutu dapat mempengaruhi kinerja
kelembagaan BMT. Pengertian mutu pengelola umumnya dikaitkan dengan tingkat
pendidikan dan standar kompetensi untuk menjalankan BMT. Pengelola yang
berpendidikan lebih tinggi diasumsikan lebih bermutu dibandingkan dengan yang berpendidikan
lebih rendah. Standar kompetensi pengelola BMT
diartikan sebagai kemampuan pengelola menjalankan standar operasi BMT
sesuai dengan prinsip Bank Syariah. Pengelola harus memiliki skill/ketrampilan
dalam mengelola usaha. Ketrampilan dapat diperoleh melalui pelatihan dari
PINBUK setempat.
2). Kesehatan Keuangan
Analisis kesehatan keuangan BMT akan dapat mengungkap sejauhmana pengelolaan
usaha BMT dikelola, yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada
pihak-pihak terkait: seperti para pendiri, pemilik/anggota, nasabah/peminjam,
para Pembina BMT. Banyak cara yang dipakai untuk menilai kesehatan keuangan BMT
seperti :
(A). Struktur permodalan,
(B). Kualitas aktiva produktif,
(C). Likuiditas,
(D). Rentabilitas,dan
(E). Efisiensi.
(A). Struktur Permodalan
Keberadaan/kesehatan lembaga keuangan sangat tergantung dari kepercayaan
nasabah/masyarakat, karena itu kepercayaan adalah segalagalanya bagi lembaga
keuangan. Cara yang paling mudah untuk mengetahui dan menghitung kesehatan
struktur permodalan BMT yaitu menghitung rasio antara Modal dan Simpanan yang
dirumuskan sebagi berikut:
Rumus 1 : Struktur Permodalan
Struktur modal = Modal : Simpanan
Bila : < 5 %, adalah sangat tidak sehat
6 % - 15 % adalah kurang sehat
16 % - 25 % adalah sehat
> 25 % adalah sangat sehat
Modal adalah seluruh nilai
simpanan pokok khusus, simpanan pokok, simpanan wajib, penyertaan, hibah,
cadangan, laba/rugi. Simpanan adalah seluruh nilai simpanan sukarela, (misalnya simpanan mudhrobah,
Idul Fitri, pendidikan dsb termasuk untung kepada pihak ketiga)
(B). Kualitas Aktiva Produktif (KAP)
Kredit yang dikeluarkan harus disalurkan pada orang/nasabah yang
tepat. Tepat berarti tepat jumlah dan waktu, tepat orang, tepat
penggunaan, dan tepat pengembaliannya sehingga tidak menimbulkan
masalah di kemudian hari. Kualitas aktiva produktif diartikan
sebagai
sejumlah pembiayaan yang dapat menghasilkan pendapatan/bagi hasil
dengan sedikit mungkin menimbulkan kredit macet. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa persyaratan jaminan hanya diberikan kepada
peminjam skala besar. Jaminan itu berupa sertifikat tanah, BPKB,
barang atau akte/surat-surat berharga lain.
Rumus 2 : Kualitas Aktiva Produktif (KAP)
Penentuan kinerja BMT dalam pencapaian kualita aktiva produktif
dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Kredit jatuh tempo (bermasalah)
KAP = ------------------------------------------------
Total pembiayaan
Bila : > 10 %, adalah sangat tidak sehat
6 % - 10 % adalah kurang sehat
3 % - 5 % adalah sehat
> 3 % adalah sangat sehat
(C). Likuiditas
Tersedianya secara cukup dana kas dan bank (aktiva yang paling
likuid) yang dapat diuangkan sewaktu-waktu menjadi jaminan kesehatan likuiditas
bagi BMT yang bersangkutan. Tersedianya dana likuid juga memberikan rasa aman
bagi penabung/nasabah. BMT yang sehat dan likuid adalah BMT yang mampu menjaga
tersedianya dana kas dan bank dalam jumlah yang sangat kecil atau sangat besar.
Bila dana kas danbanknya terlalu kecil bisa disebut BMT yang illikuid, sementara
yang terlalu besar dana likuiditasnya bisa dikategorikan sebagai BMT yang memegang
dana yang idle (menganggur). BMT yang illikuid akan menimbulkan penurunan kepercayaan dari
masyarakat, sementara bagi BMT yang banyak idle memberi dampak pada tingginya cost of fund, karena
selama uang itu menganggur, BMT harus membayar bagi hasil kepada si penyimpan.
Adapun rumus untuk menentukan apakah BMT memenuhi kesehatan likuiditas adalah
sebagai berikut.
Rumus 3 : Likuiditas
PINBUK menyarankan agar BMT dapaa mempertahankan dana lancer (likuid)
yang dianggap aman berkisar 10% - 20%. Pengalaman di lapang menunjukkan,
umumnya BMT menyediakan dana kas yang dianggap aman sebesar 25% -30%. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ada 11% BMT yang sngat tidak likuid, 17% kurang
likuid, 25% likuid tinggi dan 47% sangat tinggi likuiditasnya.
Total pembiayaan
Likuiditas = ------------------------------------
Total dana diterima
Bila : > 94 %, adalah sangat tidak likuid
> 90 % - 94 % adalah kurang likuid
> 75 % - 90 % adalah likuid
> 75 % adalah sangat likuid
(D). Rentabilitas
Rentabilitas dapat diartikan sebagai kemampun BMT dalam menghasilkan
laba/surplus sesuai dengan nilai asset yang dimiliki. Laba adalah sesuatu yang
sangat didambakan dunia usaha termasuk BMT. Rumus untuk menentukan kesehatan
rentabilitas adalah sebagai berikut.
Rumus 4 : Rentabilitas
Dari sejumlah BMT sampel yang diteliti, 14% BMT sangat rendah
rentabilitasnya, 73% sangat tinggi, 10% tinggi dan 3% kurang.
(E). Efisiensi
Efisiensi dapat diartikan sebagai kemampuan BMT mengendalikan biaya
operasional untuk menghasilkan pendapatan operasional tertentu. Biaya
operasional meliputi biaya bagi hasil simpnan, overhead cost seperti listrik,
karyawan, telepon, biaya penagihan dll. Pendapatan operasional terdiri dari
pendapatan bagi hasil, mark up dan hasil kegiatan pendanaan suatu usaha
nasabah.Efisiensi usaha BMT dapat diukur dengan menghitung rasio antara biaya
operasional dengan pendapatan operasional. Jika rasionya >1 berarti BMT
mengalami kerugian dan bila <1 berarti BMT mendapat keuntungan.
Rumus 5 : Efisiensi
Hasil penelitian lapang menunjukkan bahwa sebagian besar BMT masih
kurang efisien dalam mengelola usahanya. BMT sampel mengalami
Laba (surplus)
Rentabilitas = ------------------------------------
Total harta
Bila : > 1 %, rentabilitasnya sangat rendah
> 1 % - 1,9 % rentabilitasnya kurang
> 2 % - 3 % rentabilitasnya tinggi
> 3 % rentabilitasnya sangat tinggi
Biaya operasional
Efisiensi = ------------------------------------
Pendapatan operasional
Bila : > 90 %, efesiensi sangat rendah
> 76 % - 90 % kurang efisien
> 60 % - 75 % efisiensinya tinggi
> 60 % efisiensinya sangat tinggi
kerugian karena terbebani biaya lain yang cukup besar yaitu social
cost (biaya perkumpulan) yang tidak ada kaitannya dengan kegiatn BMT secara
langsung.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
1). Dilihat dari prosedur pembiayaan dan jangkauan pelayanannya,
BMT merupakan lembaga keuangan alternatif yang sangat efektif dalam melayani kebutuhan
pembiayaan modal kerja jangka pendek yang sangat diperlukan pengusaha kecil
mikro. Dalam menjalankan usahanya, baik BMT yang berbentuk KSM maupun berbentuk
koperasi menggunakan prinsip-prinsip koperasi yang orientasi pelayanannya
selalu berpegang pada prinsip sederhana, murah dan cepat.
2). Perkembangan asset BMT yang sangat cepat ditentukan adanya mobilisasi
dana dari pihak ketiga serta cepatnya perputaran pengembalian
pinjaman para
nasabah yang selanjutnya dipinjamkan kepada nasabah lain.
3). Lembaga keuangan ini dapat menghasilkan profit yang cukup
besar dan sangat menguntungkan para pemiliknya.
4). Pada umumnya BMT yang diteliti menggunakan pola pembiayaan mudharabah
dan Bai Bitsaman Aji (BBA). Pola pembiayaan BBA punya keunggulan karena punya
tingkat perputaran yang sangat tinggi, berisiko rendah dan memberikan margin
keuntungan yang relatif besar.
5). Dasar pemberian pinjaman kepada nasabah adalah berupa
penilaian kelayakan usaha, biaya administrasi sebesar 1% dan 2%. Pinjaman di
bawah
Rp.300.000,- tidak menggunakan jaminan. Yang menjadi jaminannya
adalah
kepercayaan yang diberikan pemuka masyarakat adat/agama atau
pemerintah
yang mengetahui secara mendalam jati diri si peminjam.
6). Jasa pinjaman/pembiayaan yang diberikan kepada nasabah/anggota
selalu
dimusyarahkan dan disepakati terlebih dahulu dan bersifat
fleksibel. Jika debitur tidak mampu membayar pinjamannya karena alasan yang
wajar, maka kesepakatan bisa ditinjau kembali. Jika samasekali tidak bisa
mengembalikan
karena pailit maka pinjaman diputihkan.
7). Untuk mendorong orang menabung, BMT menggunakan pola nisbah
bagi
hasil, misalnya 65 :35 ( BMT : Penabung )
8). Analisis penilaian terhadap kesehatan kelembagaan BMT yang
meliputi aspek pendirinya, keaktifan pengurus maupun kualitas pengelola dapat dinyatakan
bahwa BMT yang diteliti dinyatakan sangat sehat.
9). Kesehatan keuangan BMT dinilai dari lima aspek yaitu struktur
permodalan,
kualitas aktiva produktif, likuiditas, efisiensi, dan
rentabilitas. Dilihat dari kelima aspek tersebut maka BMT sampel yang diamati
ada yang amat sehat,
sehat, kurang sehat dan sangat tidak sehat.
2. Saran
1). Pembiakan BMT perlu dipercepat agar jumlah BMT semakin banyak ditengah-tengah
masyarakat.
2). Perlu dilakukan kembali penilaian terhadap kebijakan
penyediaan bantuan keuangan revolving fund dengan mengintrodusi dana padanan
dari pemilik/pendiri.
3). Perlu dilakukan pengembangan sistem interlending antar BMT.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, (1995). Pedoman
Cara Pembentukan BMT. Pinbuk,
Jakarta.
Anonim, (1995). Peraturan
Dasar dan Contoh AD/ART BMT. PINBUK,
Jakarta.
Anonim, (1995). Pedoman
Penilaian Kesehatan BMT. PINBUK,
Jakarta.
Lestiadi, Suhadji, (1998). Peranan Bank Muamalat Dalam Mengembangkan Lembaga Keuangan
Alternatif. Jakarta.
Masngudi, (1998). Koperasi
Pembiayaan Indonesia. Jakarta.
Usman, Marzuki (1998). Strategi
Pengembangan Pembiayaan Pengusaha Kecil, Menengah dan Koperasi Menghadapi
Perdagangan Bebas.
Kewirausahaan Muslim, (1996). “ Mitra Usaha Kecil” Pemberdayaan Ekonomi Rakyat.
Majalah PINBUK.
Nama Kelompok :
Dave Simanjuntak (21210703)
Fadhli Rahman Syukri (22210477)
Gita Fitriane (23210019)
I Made Wahyudi S (23210346)
Kelas; 2EB10
Fadhli Rahman Syukri (22210477)
Gita Fitriane (23210019)
I Made Wahyudi S (23210346)
Kelas; 2EB10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar