I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Krisis ekonomi nasional tahun 1997 masih
menyisakan dampak negatif hingga kini, termasuk bagi UKM dan usaha mikro, yaitu
menyebabkan antara lain :
(1)turunnya daya beli konsumen , dikarenakan
semakin berkurangnya/langkanya usaha-usaha yang dimiliki konsumen sebagai
sumber pendanaan;
(2) menurunnya kualitas produk-produk UKM dan
usaha mikro sebagai akibat rendahnya kualitas SDM serta berkurangnya sumber-sumber
pendanaan yang dimiliki pengusaha kecil dan menengah dan mikro. Salah satu
permasalahan yang dihadapi pengusaha kecil menengah dan mikro dalam
mengembangkan usahanya adalah kecilnya modal usaha yang dimiliki dan rendahnya
kemampuan untuk mengakses ke lembaga keuangan, baik lembaga keuangan perbankan
(BRI, BPR, dll) maupun lembaga keuangan non bank (KSP/USP Koperasi,
penggadaian, lembaga keuangan non formal, dll). Untuk mengatasi permasalahan
tersebut di atas, sebagai upaya pengembangan UKM dan usaha mikro, maka
pengembangan lembaga keuangan mikro seperti KSP/USP Koperasi melalui
pemberdayaan dan berbagai regulasi peraturan merupakan konsekuensi logis yang
harus dilakukan, sehingga tercipta iklim kondusif yang memungkinkan kemudahan
bagi para pengusaha UKM dan usaha mikro mampu mengakses atau memanfaatkan dana
dan berbagai lembaga keuangan mikro tersebut.
2. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah
a.
Identifikasi
Kegiatan ini memfokuskan pada pengembangan
kerangka berfikir untuk mencari alternatif pengembangan koperasi dalam era
otonomi daerah, dikaitkan dengan penyusunan model-model pemusatan pengembangan
koperasi di bidang pembiayaan dilakukan terhadap beberapa potensi daerah yang
dapat dilayani koperasi dibidang pembiayaan, sentra-sentra produksi rakyat yang
dapat dikembangkan dan analisis terhadap daya dukung SDM, modal, lembaga
keuangan dan teknologi. Berbagai
hambatan dan kebijakan pendorong diantisipasi
untuk menjadi dukungan dalam menkonstruksi model alternatif yang dihasilkan.
Model pemusatan alternatif merupakan solusi-solusi yang dipertimbangkan dan
direkomendasikan dalam rangka membangun sistem pemusatan pengembangan koperasi
bidang pembiayaan.
b. Batasan
Penelitian
Pada prinsipnya, pengkajian dilakukan untuk
memperoleh konstruksi model pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan
secara nasional. Mengingat dinamika otonomi daerah yang terjadi dan berbagai
kondisi masing-masing daerah mempunyai variabilitas dan heterogenitas dalam
pengembangan koperasi, khususnya koperasi simpan pinjam dan unit simpan pinjam
pada koperasi-koperasi, maka model model yang direkonstruksikan secara
substantif mengungkapkan kekuatan dan kelemahan masing-masing.
c. Rumusan
Masalah
Program-program pembantuan bagi permodalan
koperasi dan usaha kecil dan menengah relatif telah banyak dilaksanakan melalui
pengembangan sistem keuangan, baik yang berbasis sisi kultural seperti arisan,
gotong royong maupun pembentukkannya diprakarsai pemerintah seperti kredit
program, serta kebijaksanaan perbankan seperti Kredit Investasi Kecil (KIK).
Dalam banyak hal, walaupun menunjukkan hasil-hasil yang relatif baik, akan
tetapi belum dapat dikatakan optimal. Untuk itu, diperlukan pemikiran dan
pertimbangan untuk membangun model-model kelembagaan keuangan dalam bentuk
pemusatan pengembangan koperasi di bidang pembiayaan di daerah
yang mencakup kepentingan baik
anggota-anggotanya dan lembaga keuangan.
3. Tujuan dan Manfaat
1) Tujuan
Secara umum, kegiatan ini bertujuan untuk
mengembangkan alternatif kebijakan dalam rangka pengembangan koperasi di bidang
pembiayaan di tingkat Kabupaten/Kota, sesuai dengan otonomi daerah yang
berlangsung saat ini. Secara khusus tujuan kajian ini adalah :
(1) menyusun model pemusatan pengembangan
koperasi di bidang pembiayaan tingkat Kabupaten/Kota;
(2) memberikan masukan kepada Pemda Kabupaten/Kota
dalam upaya menciptakan iklim yang kondusif bagi pembangunan perkoperasian.
2) Manfaat
Hasil penelitian ini diharpkan dapat bermanfaat
sebagai bahan masukan bagi pimpinan dan instansi terkait dalam merumuskan
kebijakan pemberdayaan Koperasi.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
1. Landasan Kebijakan
Usaha kecil dan menengah (UKM) dan usaha mikro
merupakan sumber kegiatan perekonomian sebagian besar dari rakyat Indonesia
baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan yang mencakup berbagai jenis lapangan
usaha, baik pertanian, perdagangan, industri dan jasa-jasa. Data BPS tahun 2002
menunjukkan bahwa jumlah usaha kecil dan menengah di Indonesia berjumlah lebih
dari 41 juta unit usaha atau mencapai 99,99% dari jumlah unit usaha di
Indonesia dan telah mampu menyerap tenaga kerja lebih dari 76 juta pekerja atau
mencapai 99,46.
Kementerian Koperasi dan UKM dalam rangka
mendukung UKM dan pengembangan ekonomi lokal telah melaksanakan berbagai
program antara lain program pengembangan sentra UKM dukungan MAP dan BDS,
program pengembangan keuangan mikro melalui kompensasi subsidi BBM, serta
program pengembangan di bidang peternakan, perkebunan dan sebagainya.
Program-program tersebut merupakan stimulasi pembelanjaan bagi daerah, dan sisi
lain sebagai upaya triggering bagi pengembangan economic and social capital di daerah melalui pengembangan ekonomi kerakyatan, yaitu koperasi
dan UKM.
2. Kerangka Pemikiran
Pemusatan pengembangan koperasi bidang
pembiayaan pada tingkat Kabupaten/Kota pada dasarnya merupakan upaya
mengkonstruksi model dalam rangka upaya dan layanan untuk mendukung
pengembangan, pengendalian dan operasi KSP/USP pada tingkat Kabupaten/Kota pada
suatu pusat agar diperoleh efektivitas dan efisiensi dalam pengembangan
koperasi bidang pembiayaan.
Pemusatan pengembangan koperasi diperlukan
karena beberapa pertimbangan yangmerupakan faktor penentu, antara lain :
(1) Kinerja KSP/USP sebagai koperasi sangat
tergantung pada keberhasilannya dalam melaksanakan prinsip koperasi, yaitu
kerjasama antar koperasi. Keberhasilan kerjasama antar koperasi memerlukan
koordinasi, pendidikan dan pelatihan, pembagian kerja, dinamisasi, promosi dan
kerjasama usaha yang dapat merupakan bagian dari fungsi daripada pemusatan
pengembangan koperasi.
(2) KSP/USP sebagai lembaga keuangan memerlukan
adanya fungsi pengawasan,pengembangan jaringan pelayanan dan pengembangan
produk yang menjadi salah satu fungsi pemusatan pengembangan koperasi bidang
pembiayaan.
III. METODE
1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian meliputi 20 propinsi yaitu :
Sumut, Jatim, Bali, Sulut, Sumbar,Sultra, Kalteng, Kaltim, Sumsel, Bengkulu,
Riau, NTT, NTB, Babel, Sulsel, Kalbar, Sulteng, Jabar, Jateng, Kalsel.
2. Metode dan Analisis Pengkajian
Metode pengkajian berupa studi pustaka dan
pengumpulan data primer maupun sekunder yang berkaitan dengan potensi daerah
yang dapat ditangani koperasi, sentrasentra produksi rakyat yang dapat dikembangkan,
ketersediaan lembaga keuangan, lembaga-lembaga pendukung pengembangan KSP/USP
dan perkembangan KSP/USP, serta model-model pemusatan koperasi di masing-masing
Kabupaten/Kota.
Analisis pengkajian dilakukan dengan beberapa
cara, baik melalui induksi data, deduksi berdasarkan teori-teori yang relevan,
maupun dengan validasi experties. Dengan demikian, analisis pengkajian lebih
bersifat pendalaman berpikir kualitatif sesuai dengan keperluan untuk
merumuskan model-model yang dipandang optimal bagi pengembangan
pemusatan koperasi di bidang pembiayaan.
Perumusan model meliputi beberapa substansi
pokok dan penting sebagai solusi pengkajian yaitu :
(1) perumusan pemusatan kegiatan di bidang jasa
keuangan,
(2)perumusan pemusatan kegiatan di bidang jasa
non keuangan, dan (3) kelembagaanpemusatannya.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kasus Kelompok Koperasi Bhakti di Kabupaten Pati, Jawa
Tengah
Sampai dengan bulan Juni 2004 jumlah KSP/USP di
Kabupaten Pati sebanyak 75 unit dengan anggota 59.160 orang. Dua puluh tujuh
unit diantaranya termasuk dalam klasifikasi unit papan atas, 11 unit papan
tengah dan 37 unit papan bawah.
Bhakti Group adalah kumpulan dari beberapa
koperasi yang menghimpun dirinya menjadi kelompok dengan tujuan memudahkan
pengaturan likuiditas dana yang dikelola oleh masing-masing koperasi
anggotanya. Bhakti Group dipimpin oleh Bapak Abdurahman Saleh dan 7 orang
rekannya dalam 24 tahun berkembang dan berhasil menghimpun aset sebesar Rp. 126
milyar, sedangkan anggota yang berhasil dihimpun 143.674 orang dengan karyawan
5.000 karyawan tetap. Adapun beberapa kiat yang dijalankan manajemen Bhakti
Group untuk mencapai keberhasilannya adalah :
·
Komitmen
yang kuat di tingkat top manajemen untuk membangun sebuah koperasi sesuai
dengan hakekat utamanya yaitu dari anggota untuk anggota, membangun koperasi
yang dilandasi dengan kejujuran dan kemajuan bersama, baik anggota maupun
pengurus.
·
Sistem
prekrutan tenaga kerja dilakukan secara terpusat dan ketat baik ditinjau dari
kemampuan teknis maupun non teknis.
·
Prestasi
karyawan dihargai dengan baik, dimana manajemen menganut falsafah
pengurus/karyawan tidak boleh miskin tapi juga tidak boleh kaya.
·
Untuk
menghindari benih kecurangan, maka setiap periode tertentu diadakan rotasi
antar cabang bagi karyawan, setiap karyawan baru akan dibaiat (disumpah) untuk
mau bekerja dengan jujur, jika ditemukan kecurangan,manajemen tidak akan
segan-segan memecat bahkan kasusnya diajukan ke pengadilan.
·
Untuk
mencegah pindahnya anggota, maka tiap anggota tidak boleh keluar masuk seenaknya.
Anggota hanya diperbolehkan keluar satu kali.
·
Dana yang
dikelola secara profesional sehingga anggota dapat mengambilkapan saja.
·
Manajemen
menganut falsafah .mudah, cepat dan meriah., Mudah dalam arti prosedur menabung
maupun meminjam dilakukan dengan semudah mungkin, bahkan dengan sistem jemput
bola. Cepat dalam arti proses administrasi diusahakan tidak bertele-tele.
Meriah dalam arti jumlah tabungan pada kisaran kecil sampai menengah.
2. Kasus KSP BTM (Baitul Tamwil Muhammadiyah) di Kabupaten Pekalongan
Di Kabupaten Pekalongan terdapat koperasi yang
layak dinyatakan berhasil dalam bidang KSP, bahkan telah melebarkan sayapnya ke
daerah lain. Koperasi Simpan Pinjam tersebut berbentuk Baitul Tamwil
Muhammadiyah (BTM). Didirikan tanggal 5 Januari 1996 dengan modal awal sebesar
Rp. 25 juta, kelembagaan awalnya berbentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) di
bawah Yayasan Binaan Baitul Maal Muhammdiyah (YBBMM) sebagai partisipan Proyek
Hubungan Bank Indonesia dan Kelompok Swadaya masyarakat (PHBK). Dengan adanya
UU Nomor 29 tahun 1999 yang antara lain mengahapus PHBK, maka kelembagaannya
berubah menjadi Badan Hukum Koperasi, tepatnya Koperasi Simpan Pinjam dan
dikelola dengan menggunakan sistem syariah yang berbasis pada prinsip bagi
hasil. Pendirian BTM Wiradesa ini dilatarbelakangi oleh terbatasnya akses
permodalan bagi usaha mikro di Kabupaten Pekalongan. Sampai dengan September
2004, dana masyarakat yang berhasil mencapai Rp. 2 milyar lebih dengan total
aset Rp. 3 milyar lebih, sedangkan jumlah pinjaman yang diberikan pada periode
yang sama sebesar Rp. 2,5 milyar lebih. Untuk mempermudah pengelolaan dana dan
sebagai penyangga likuiditas, maka dari beberapa BTM membentuk koperasi
sekunder berupa berupa Pusat KSP BTM Wiradesa. Untuk menghindari perebutan
nasabah (anggota) maka ada klasifikasi ukuran pinjaman. Untuk pinjaman sampai
dengan 30 juta hanya dapat dilayani di koperasi primer dan Rp. 30 Juta ke atas
dilayani di koperasi sekunder. Sistem peminjaman dana dari koperasi sekunder ke
koperasi primer ada dua yaitu : sistem channeling dan sistem sindikasi.
Perbedaannya adalah sistem channeling 100% dana pinjaman berasal dari koperasi
sekunder dengan bagi hasil 20% bagi hasil keuntungan untuk koperasi primer dan
80% untuk koperasi sekunder, sedangkan sistem sindikasi dana pinjaman tidak
100% dari koperasi sekunder, namun terbagi antara koperasi sekunder dan
koperasi primer dengan proporsi pinjaman tertentu sesuai dengan kesepakatan
bersama. Pembagian keuntungan diberikan sesuai dengan besarnya proporsi jumlah
pinjaman .
3. Kasus Pemusatan Kerjasama Koppontren Al-Ishlah dengan Bank
di Kabupaten Cirebon
USP Swamitra adalah lembaga keuangan mikro yang
didirikan atas kerjasama saling menguntungkan antara Bank Bukopin dengan
koperasi untuk mengembangkan usaha kecil dan menengah. Melalui kerjasama ini
USP atau KSP dapat beroperasi secara modern dengan memanfaatkan jaringan
teknologi dan dukungan sistem manajemen yang telah dikembangkan oleh Bank
Bukopin. Swamitra Al-Ishlah dibentuk pada Desember 1998 sebagai hasil kerjasama
antara Koppontren Al-Ishlah dengan Bank Bukopin Cabang Cirebon. Swamitra
Al-Ishlah berada di desa Dukupuntang, Bobos, Cirebon dan melayani
nasabah-nasabah di wilayah Palimanan, Sumber hingga Rajagaluh yang radiusnya
sekitar 17 km dari pusat kegiatan di Pasar Kramat, Bobos. Kemudian pada
pertengan 1999, Swamitra Al-Ishlah resmi beroperasi. Pada saat itu dana yang
disalurkan untuk Kredit Koperasi Kepada Anggota (KPPA) sebesar Rp. 350 juta.
Pinjaman tersebut berjangka satu tahun dan berbunga 16% setahun dan harus
disalurkan kepada anggota koperasi tanpa bunga. Sebagai penyalur, Swamitra
Al-Ishlah juga tidak mengenakan bunga, tetapi menarik biaya sebesar 3% yang dipungut saat pencairan kredit. Sumber
dana Swamitra A-Ishlah yang lain adalah modal tidak tetap dari Bank Bukopin
dengan alokasi sebesar Rp. 500 juta. Sumber dana yang lainnya adalah simpanan
masyarakat yang jumlahnya dalam tahun pertama saja melebihi alokasi dari Bank
Bukopin. Ini menunjukkan keberhasilan Swamitra Al-Ishlah dalam menggalang dana
masyarakat. Keberhasilan ini berkat kerjasama antara pengelola Swamitra, pengurus
Koppontren dan Bank Bukopin dalam mempromosikan Swamitra di Majlis Taklim.
4. Alternatif Model Pemusatan
Dengan memperhatikan perkembangan koperasi di
lapangan, model kelembagaan pemusatan koperasi dapat berupa kerjasama antar
koperasi primer dengan pola waralaba (franchising), koperasi sekunder, kerjasama koperasi
sekunder dengan bank, kerjasama koperasi primer dengan bank dan Bank
Perkreditan Rakyat (BPR).
1) Model Kerjasama antar Koperasi Primer dengan Pola Waralaba
Model pengembangan koperasi seperti yang
terjadi pada kelompok Koperasi Bhakti di Kabupaten Pati merupakan suatu pola
kerjasama antar koperasi primer. Walaupun merupakan suatu pola kerjasama yang
menjadikan kelompok koperasi bhakti dikembangkan dan dikelola secara tertib dan
terkoordinasi, namun antar koperasi dalam kelompok koperasi bhakti tidak
memiliki kontrak kerjasama secara eksplisit. Koordinasi pengelolaan dan
pengembangan terjadi berkat adanya standarisasi dan sinkronisasi pengelolaan
dan bahkan terdapat suatu kesatuan komando dalam pengelolaan dan pengembangan
koperasi.
Potensi keunggulan model kerjasama antar
Koperasi seperti Kelompok Koperasi Bhakti sebagai suatu pola atau kelembagaan
pemusatan pengembangan pembiayaan antara lain sebagai berikut :
(1) Standarisasi dan sinkronisasi dapat lebih
mudah dilakukan dengan
standarisasi karyawan dan standarisasi sistem
dan prosedur, serta sinkronisasi atau kesatuan komando manajemen.
(2) Pengembangan koperasi baru relatif lebih
mudah dilakukan dengan adanya karyawan terlatih yang siap ditugaskan pada
koperasi baru.
(3) Dengan karyawan yang terlatih dan aktif
jemput bola maka memungkinkan penetrasi perluasan anggota yang berarti
perluasan pasar dan peningkatan pangsa pasar.
(4) Walaupun antar Koperasi Bhakti terdapat
standarisasi dan sinkronisasi manajemen, masing-masing koperasi sepenuhnya
dimiliki oleh anggotanya yang sebagian besar berada pada sekitar koperasi
berada.
(5) Keterbatasan Bhakti menganut keanggotaan
secara terbuka dan sukarela sehingga memungkinkan loyalitas anggota secara
alami dan berkelanjutan serta sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip koperasi.
(6) Mengingat memiliki catatan kinerja baik (track record) yang
cukup panjang dan memiliki brand
name yang cukup dikenal, pola koperasi bhakti
memiliki peluang sebagai suatu sistem waralaba manajemen koperasi simpan pinjam
yang dapat diaplikasikan pada pengembangan koperasi simpan pinjam.
2) Model Koperasi Sekunder
Dengan pola koperasi sekunder pada dasarnya
seluruh kegiatan yang diperlukan untuk mendukung pengembangan koperasi primer
dilakukan oleh koperasi sekunder secara berjenjang dari tingkat daerah,
wilayah, nasional dan internasional. Fungsifungsi kegiatan pemusatan
pengembangan koperasi bidang pembiayaan meliputi bidang keuangan yang terdiri
atas penghimpunan dan penyaluran dana melalui silang pinjam (interlanding) dan
pengelolaan resiko maupun bidang non jasa keuangan yang terdiri atas konsultasi
manajemen simpan pinjam, pendidikan dan pelatihan, akuntansi dan audit,
pengadaan sarana usaha dan audit.
Keungulan koperasi sekunder sebagai model
pemusatan pengembangan koperasiadalah :
(1) Struktur dan sistemnya telah tersedia, baik
secara lokal, nasional maupuninternasional sehingga tinggal masalah penerapan.
(2) Penerapan koperasi sekunder sebagai model
pemusatan lebih menjaminpenerapan nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi,
sehingga lebih menjamin terwujudnya cita-cita koperasi yaitu peningkatan
kesejahteraan dan kemandirian ekonomi anggota koperasi.
3) Model Bank Perkreditan Rakyat
Pemusatan pengembangan koperasi dengan model
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) terutama dimaksudkan agar memiliki kemampuan atau
keleluasaan yang lebih besar dalam penghimpunan dana masyarakat dan sekaligus
keleluasaan dalam penyaluran dana. Dengan bentuk BPR, sebagai bank, memiliki
kewenangan untuk menghimpun dana ke masyarakat, tidak hanya kepada anggotanya. Keunggulan
BPR sebagai model pemusatan pengembangan koperasi antara lain adalah :
(1) Memiliki kepercayaaan kemampuan yang
efektif dan dalam menghimpun dana baik dana dari masyarakat, maupun dana dari
lembaga keuangan sebagai konsekuensi bentuknya berupa bank.
(2) Merupakan sarana yang legal dan sehat untuk
menyalurkan dana kepada masyarakat, terutama apabila koperasi anggota atau
pemegang saham dalam keadaan kelebihan dana.
(3) BPR yang harus mengikuti ketentuan
perbankan yang ketat dapat menjadi referensi yang baik dalam mengembangkan tata
kelola yang baik (good corporate
governance) bagi koperasi yang dikembangkan.
4) Model Kerjasama Koperasi Sekunder dangan Bank
Model kerjasama koperasi sekunder dengan bank
umum adalah sebagaimana yang terjadi pada koperasi-koperasi di lingkungan
pegawai negeri, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia
(Polri) dengan Bank Kesejahteraan Ekonomi. Dalam hal ini induk-induk koperasi
tersebut sperti KPRI, Inkopad, Inkopau, Inkopal, dan Inkopol mengadakan
kerjasama dalam penyaluran dana dari Bank Kesejahteraan Ekonomi untuk
anggota-anggota koperasi. Keunggulan model ini adalah :
(1) Ketersediaan dana yang diperlukan oleh
anggota koperasi dari Bank
Kesejahteraan Ekonomi.
(2) Kemampuan penghimpunan dana masyarakat
maupun dana dari lembaga keuangan lain melalui Bank Kesejahteraan Ekonomi.
5) Model Kerjasama Koperasi Primer dengan Bank Pola Swamitra
Kerjasama koperasi primer dengan bank Bukopin
dalam bentuk pola Swamitra merupakan model pemusatan kegiatan pengembangan
koperasi dengan kerjasama koperasi primer dengan bank. Dengan pola ini, Bukopin
menyediakan sistem dan aplikasi manajemen simpan pinjam koperasi, termasuk
pengadaan dan pelatihan sumberdaya manusia, aplikasi teknologi informasi,
sistem manajemen operasi simpan pinjam, pendampingan dan supervisi simpan
pinjam dan standarisasi produk simpanan dan pinjaman, serta cadangan likuiditas
koperasi simpan pinjam. Keunggulan pemusatan pengembangan koperasi dengan model
kerjasama antar koperasi primer dan bank pola Swamitra, antara lain :
(1) Terdapat paket dukungan pengembangan
KSP/USP secara lengkap sehingga memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi.
(2) Terdapat sistem supervisi dan pengendalian
secara seketika (on line) oleh bank.
(3) Terdapat jaminan cadangan likuiditas yang
disediakan secara bertingkat, baik di koperasi maupun di bank.
(4) Terdapat standarisasi sistem dan produk
sehingga lebih memungkinkan dikembangkan jaringan kerjasama.
(5) Memiliki kredibilitas yang tinggi dalam
penghimpunan dana berkat dukungan citra bank pendukungnya.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
(1) Sentra-sentra usaha yang dipandang perlu
sebagai sentra usaha unggulan adalah berupa sentra usaha yang bergerak di
bidang pertanian, industri makanan dan minuman, industri kerajinan, industri
kerajinan tekstil dan konveksi rakyat. Sebagian dari pengusaha dalam sentra tersebut
berupa usaha mikro, yang memiliki kesamaan bahan baku atau teknologi dan tidak melakukan
kegiatan pemasaran bersama atau pengadaan bahan baku bersama.
(2) Kebutuhan pembiayaan usaha dalam sentra
pada dasarnya lebih tepat dipenuhi oleh lembaga keuangan mikro seperti koperasi
simpan pinjam, karena kebutuhan dana berskala kecil dan sendiri-sendiri.
(3) Kegiatan pemusatan pengembangan koperasi
dalam bidang pembiayaan meliputi jasa keuangan dan jasa non keuangan meliputi
konsultasi manajemen simpan pinjam, pendidikan dan pelatihan, akuntansi dan
audit, pengadaan sarana usaha dan advokasi.
(4) Alternatif model pemusatan pengembangan
koperasi bidang pembiayaan pada tingkat Kabupaten/Kota adalah :
(a) kerjasama antar koperasi dengan pola waralaba,
(b) koperasi sekunder,
(c) kerjasama koperasi sekunder dengan bank,
(d) Bank Perkreditan Rakyat,
(e) kerjasama koperasi primer dan bank dengan
pola Swamitra.
2. Saran
Model pemusatan pengembangan koperasi di suatu
Kabupaten/Kota tidak harus dalam bentuk satu model, dapat terdiri atas dua
model tersebut diatas dengan maksud agar dapat mempertahankan ciri
masing-masing keunggulannya.
DAFTAR PUSTAKA
______, 2003. Ekonomi Kerakyatan dalam Kancah
Globalisasi. Kantor Kementerian Koperasi dan UKM. Jakarta.
Arief, Sirtua, 1997. Pembangunan dan Ekonomi
Indonesia : Pemberdayaan Rakyat dalam Arus Globalisasi. CPSM, Bandung.
Arifin, B. 2004. Menterjemahkan Keberpihakan
terhadap Sektor Pertanian : Suatu Telaah Ekonomi Politik. Dalam : Rudi Wibowo
dkk (Ed).,
Rekonstruksi dan Restrukturisasi Pertanian.
PERHEPI. Jakarta.
INFOKOP. 2002. Koperasi Menuju Otonomisasi.
Jakarta.
Korten, David C., 1980. Community Organization
and Rural Development : A Learning Process Approach. Dalam Public
Administration Review, No.40.
Komite Penanggulangan Kemiskinan. 2002.
Kemiskinan Tanggung Jawab Siapa?.Jakarta.
Krisnamurthi, B., 2003. Analisis Grand Strategy
Pembangunan Pertanian :Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis dan Implementasi
Pembangunan Pertanian. Makalah disampaikan pada Lokakarya Penyusunan Evaluasi
Kinerja Pembangunan Pertanian. Jakarta.
Prijadi, dkk. 2002. Pengembangan KSP dan USP
Koperasi sebagai Lembaga Keuangan. Yayasan Studi Perkotaan. Jakarta.
Soetrisno, N. 2003. Menuju Pembangunan Ekonomi
Berkeadilan Sosial. STEKPI.Jakarta.
Wibowo, R. 1999. Refleksi Teori Ekonomi Klasik
dalam Manajemen Pemanfaatan Sumberdaya Pertanian pada Milenium Ketiga. Dalam
Refleksi Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. Pustaka Sinar Harapan.
Jakarta.
Nama Kelompok :
Dave Simanjuntak (21210703)
Fadhli Rahman Syukri (22210477)
Gita Fitriane (23210019)
I Made Wahyudi S (23210346)
Kelas; 2EB10
Dave Simanjuntak (21210703)
Fadhli Rahman Syukri (22210477)
Gita Fitriane (23210019)
I Made Wahyudi S (23210346)
Kelas; 2EB10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar