Jumat, 15 Februari 2013

Potensi Mobil Listrik (BI-01-SS-2013)


Prototip motor listrik PT Pindad (Persero) direncanakan akan jadi awal tahun depan. Kemudian BUMN di bidang industri strategis ini akan mulai membuat desain motor listrik untuk produksi masal 10.000 unit pada pertengahan tahun depan. Itulah rencana Pindad sebagaimana disaimpaikan Direktur Utama PT Pindad (Persero) Adik A. Soedarsono kepada tim Warta Ekonomi yang mewawancarainya, belum lama ini di kantor Pindad di Jakarta.
Adik menambahkan bahwa nantinya motor listrik buatan Pindad ini akan dicangkokkan dalam mobil listrik nasional. Dia juga menekankan pentingnya pemberian insentif buat mobil listrik ini jika nantinya mobil listrik akan mulai dipasarkan, agar mobil ini dapat bersaing dengan mobil listrik buatan luar dan mobil berbahan bakar minyak. Berikut ini petikan wawancaranya:


Bagaimana kesiapan PT Pindad dalam proyek mobil listrik nasional?
Kami memang bukan industri otomotif, walau Pindad pernah diinstruksikan untuk membuat mobil Maleo tahun 1980-an. Sayangnya, proyek ini kandas. Jadi, sebenarnya dalam cikal bakal industri mobil nasional, kami sudah terlibat, tapi belum sempat produksi.
Tahun 1983 ketika Pindad masuk ke Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS), kami pernah dimodali untuk tidak hanya membuat senjata, tetapi juga untuk membuat generator listrik. Sehingga, pada saat Pindad tidak menjual senjata, ia bisa menjual generator listrik Ada sekitar 200 lebih generator listrik kelas 5 megawatt di Indonesia adalah buatan Pindad. Motor-motor listrik di kereta listrik (KRL) adalah buatan Pindad, begitu juga remnya.
Namun, tahun 2009 konsep BPIS gugur dan kami kembali lebih fokus ke pembuatan senjata. Jadi, sebenarnya Pindad sudah cukup lama punya catatan sejarah bermain di bidang kelistrikan. Bukan tiba-tiba. Artinya, secara ide, kami sudah tahu bagaimana membuat motor listrik. Bahkan, dahulu motor listrik yang kami buat digunakan untuk menggerakkan gerbong kereta seberat 600 kilogram, sehingga kalau sekarang diminta membuat motor listrik yang bisa menggerakkan kendaraaan 15 kilogram, semestinya tidak sulit. Biasanya yang gede-gede, sekarang yang kecil-kecil. Kami dapat suntikan teknologi juga, sehingga begitu diberitahu sedikit, kami bisa langsung jalan cepat. Untuk mengurus ini, kami membentuk tim yang beranggotakan sekitar 10 orang.


Apa saja tantangan yang dihadapi dalam memproduksi motor listrik untuk mobil listrik ini?
Pertama, sebelumnya kami memproduksi motor untuk kereta api sehingga ukuran motornya tidak menjadi masalah, tetapi kalau untuk mobil, harus kecil-kecil ukurannya. Kedua, soal efisiensi. Ketiga, dari sisi harga. Kami biasanya membuat motor yang harganya hingga Rp1 miliar, sekarang kami harus membuat motor listrik untuk mobil yang harganya hanya sekitar Rp15-Rp25 juta. Solusinya, kami harus melakukan produksi massal. Jadi, langsung membuat 50.000 atau 100.000 unit untuk menurunkan biaya produksinya.


Jadi, sudah ada target produksinya?
Sudah. Sekarang target kami rancang 10.000 unit per tahun. Jadi sekarang kita setting ini untuk 10.000. Semoga tahun depan terlaksana. Kami diberi waktu dua tahun oleh Presiden ketika itu. Jadi, kami masih punya waktu satu tahun, kalau terlambat.
Sekarang yang mesti dibuktikan bahwa motor buatan kami itu sudah bisa diterima atau tidak oleh industri mobil listrik. Kami sudah punya prototipnya dan mereka pakai untuk diuji dan disempurnakan. Secara perencanaan, kami memiliki tiga tahap siklus: membuat prototip, mereka pakai, diuji, lalu kami perbaiki, dan kemudian kami tawarkan  kembali. Kalau sudah final, maka berarti sudah bisa untuk komersial.


Benarkah untuk membuat prototipnya, Pindad menghabiskan dana hingga di atas Rp500 juta?
Itu untuk investasinya, termasuk untuk alat memproduksinya. Tapi, kalau dari bahannya sendiri, seperti harga chasing, ukuran barangnya, dan ongkos permesinannya kami hitung-hitung Rp50 juta. Jadi,  itu bukan harga motor listriknya, tapi sudah sekalian untuk biaya riset dan lain-lainnya.


Jadi, berapa besar dana yang dibutuhkan untuk membuat prototip motor  listriknya?
Sekitar Rp1,9 miliar. Prototip ini terus kami sempurnakan agar bisa diterima pasar. Bila sudah didapat, maka akan kami produksi masal motor listrik itu dengan kapasitas 10.000 unit tahun depan. Mudah-mudahan bulan Januari kami sudah bisa tentukan cara produksi masalnya sesuai nilai investasinya. Target 10.000 unit lebih merupakan angka politik yang datang dari Pak Dahlan.


Berapa besar nilai investasi untuk produksi masal 10.000 motor listrik itu?
Sekitar Rp35 miliar. Setelah kami dapat angka acuan produksi 10.000, kami perkirakan mesin yang dibutuhkan dan ongkos produksinya. Begitu prototip didapat, maka untuk memproduksi masal, perlu ditentukan mesin produksinya. Karena untuk membuat dalam jumlah 10.000 unit dengan 100.000 unit, berbeda-beda jenis mesinnya.


Selain Pindad dan PLN, BUMN lain yang diundang ikut proyek ini?
Yang pertama diundang Pindad karena kami punya sejarah membuat motor listrik, generator, dan sebagainya. Akhirnya, penugasan ke Pindad, tetapi kami tidak bisa membuat sendiri. Kami harus membuat konsorsiumnya. Lalu kami bersama-sama tanda tangan di depan Menteri BUMN Dahlan Iskan. Disitu ada PT LEN, PT INTI, PT Krakatau Steel. Jadi, ada beberapa industri lain yang kami ajak, tetapi kalau yang mendapat surat perintahnya hanya Pindad.


Anda optimistis dengan proyek ini?
Ya saya harus optimistis, walaupun ini sudah lewat dari jadwal karena sekarang sudah masuk bulan November. Prototip pertamanya belum begitu sukses karena mengalami problem overheating. Prototip kedua belum keluar apa masalahnya. Prototip ini kami targetkan selesai Januari tahun depan. Baru setelah itu, kami masuk ke desain produksi masal.


Untuk produksi baterainya, benarkah  Pindad telah bekerja sama dengan PT Nipress?
Jadi, waktu kami dapat penugasan untuk membangun industri motor listrik, target utamanya sekarang motor itu digunakan untuk mobil listrik, padahal mobil listrik mengandung banyak komponen, sehingga kami memutuskan membangun konsorsium, yang memasok mulai dari bateri hingga panel display-nya. Jadi, waktu itu, ada enam perusahaan yang akan mendukung industri mobil listrik. Disitu Pindad dituakan dan diangkat sebagai pimpinannya.


Menurut Anda, sebenarnya seperti apa rencana pemerintah terhadap proyek mobil listrik ini?
Pendapat saya, ini baru pada tahap kebijakan politik. Baru keinginan politik, tapi belum sampai ke kondisi pasar  yang berdampak kepada industri ini. Karena jangankan di Indonesia, di Amerika saja yang bebas, industri mobil listrik itu dibunuh oleh industri mobil bensin. Karena itu, kalau mobil listrik ini berjaya, industri mobil bensin akan tewas.
Di Indonesia, bukan hanya dari segi bisnisnya saja yang kurang kondusif untuk mobil listrik, tetapi juga dari segi kebijakannya. Karena, selama bensin seharga Rp4.500 per liter, maka tidak ada alternatif yang bisa melawan. Satu disubsidi, yang lain tidak. Jelas, energi alternatif ini tidak akan bisa bersaing.
Tapi, kalau bensin itu mahal, yang lain bisa muncul sebagai alternatif. Misalkan harga bensin naik dari Rp4.500 menjadi Rp9.000, maka kalau memakai mobil listrik mungkin cuma Rp8.500. Itu bisa. Tapi, kalau sekarang harga bensin Rp4.500, maka itu berat disaingi. Oleh karena Rp4.500 itu memang kondisi politik atau diatur secara politik. Akhirnya memang tidak berkembang industri biofuel dan sebagainya.
Buat kami sebenarnya juga tidak masalah. Kalaupun nanti kami tidak berhasil di mobil listrik ini, nanti bisa kami pakai untuk generator mikrohidro. Jadi, motor listrik yang kami buat tidak hanya bisa dipakai untuk mobil listrik. Motor listrik bila diberi listrik menghasilkan putaran, sebaliknya bila diberi putaran akan menghasilkan listrik.
Jadi, ini tetap kami jalankan.


Berapa besar pengorbanannya bagi Pindad?
Karena kami diperbolehkan menggunakan laba kami untuk ini, ya kami jalankan. Karena ini perintah dari kantor Kementerian BUMN. Saya sudah menjelaskan ke Menteri BUMN, bahwa kalau kami menjalankan proyek ini, biayanya akan sekian dan kami dipersilakan memakai laba kami untuk ini.
Waktu itu saya ajukan biayanya sekitar Rp1,5 miliar – Rp2 miliar. Saya ajukan proposal biaya yang diperlukan untuk membuat prototipnya sebesar itu dan diizinkan. Karena diizinkan, kami jalankan. Kalau kemudian kami merugi karena ini, kami tinggal memberitahukan bahwa ini sesuai perintah Menteri BUMN untuk mengembangkan ini, meskipun pasarnya kami juga belum tahu persis. Sebab, biasanya kalau kita mengembangkan sesuatu, pasti kami akan ketahui berapa besar pendapatan yang kami peroleh. Misalnya, kalau kami hendak meneruskan membuat panser Anoa, kami bisa menghitung berapa biaya produksinya, harga jual, dan target pasarnya sehingga kami berani investasi.Untuk proyek ini, kami belum jelas, tetapi tetap kami jalankan sebagai kontribusi Pindad bagi masyarakat Indonesia.
Jadi, sekarang saya sarankan harus ada insentif. Jangan BBM premium yang merusak lingkungan diberi insentif, sementara energi lain dibiarkan berdarah-darah. Yang gas saja tidak bisa kompetitif selama BBM premium masih Rp4.500 per liter. Untuk apa susah-susah memikirkan ini bila harga bensin masih Rp4.500.


Bagaimana perbandingannya penggunaan bensin dengan mobil listrik pada kilometer yang sama?
Ini pasti lebih murah, bila harga bensin bukan Rp4.500. Lihat saja pembangkit listrik, yang bila dibangkitkan dengan air, dia bisa per Rp600, sementara dengan tenaga diesel bisa Rp3.000. Jadi, lebih murah tiga kali lipat.
Contoh lain, ketika jalanan macet, mobil bensin pasti menghabiskan energi. Sementara, kalau mobil listrik tidak. Begitu mobil berhenti, pasokan listrik dari aki berhenti dan baru tersambung lagi ketika mobil jalan lagi. Jadi, kemacetan bukan hanya menghabiskan waktu, tetapi juga menimbulan kerugian besar bila menggunakan mobil bensin.
Memang perlu insentif untuk energi alternatif ini. Misalnya di Eropa, orang yang memakai solar cell di rumahnya, mungkin mahal sewaktu membeli alatnya, tetapi kalau orang memakai itu, ia mendapatkan insentif pengurangan pajak penghasilan.
Saya katakan ini masih merupakan kebijakan politik, bukan berarti saya menentang kebijakan Menteri BUMN. Kalau saya melawan, tidak saya jalankan proyek ini. Ini justru saya loyal kepadanya dan oleh karena itu kami keluarkan dana dalam proyek ini. Jadi, saya katakan ini bukan untuk melawan pimpinan, tetapi bagaimana supaya bisnis mobil listrik ini dapat berkembang.


Awalnya grand design Dahlan Iskan seperti apa untuk mobil listrik?
Grand design mobil listrik dalam aplikasinya diusahakan bisa untuk perjalanan jarak dekat. Kalau untuk jarak jauh terbentur masalah storage yang mahal. Untuk mobil bensin, gampang, tinggal dibesarkan ukuran tangkinya. Kalau mobil listrik, berarti akinya harus dibuat lebih besar dan ini mahal. Tetapi, kalau untuk jarak dekat, misalnya dengan gaya hidup ke kantor atau supermarket hanya 15 menit, mobil listrik cocok.  Yang mau dikembangkan Pak Dahlan seperti itu, yaitu konsep mobil listrik untuk jarak dekat dan kemana-mana bisa di-charge baterainya, seperti di kantor atau supermarket, sehingga ukuran baterainya tidak perlu besar.


Insentif apa yang dibutuhkan sehingga proyek ini masuk akal secara bisnis?
Kami di sini sebagai tier 2, bukan tier 1. Kami bukan integrator seperti yang di Depok atau Yogyakarta. Kalau itu, tier 1. Saat ini mereka membeli motor listriknya dari luar negeri. Nanti, kami harus suplai ke mereka. Kami sudah mengadakan pertemuan dengan mereka untuk menanyakan detil kebutuhan motor listriknya. Untuk sementara, target alokasi bujet pembelian motor ini sekitar Rp25 juta per unit, walau sebenarnya yang paling kompetitif Rp15 juta.
Insentif yang kami butuhkan jelas bila mobil listrik ini bakal dibeli sehingga kalau mau membangun mobil listrik dan membutuhkan motor listriknya, mereka membelinya dari kami. Tapi, sebagai rencana cadangan, kalau motor kami itu tidak jadi untuk membuat mobil listrik, ya kami alihkan untuk dibuat sebagai generator listrik yang menghasilkan listrik. Ini bisa untuk pembangkit listrik mikro hidro yang potensial digunakan di Indonesia.


Insentif lain?
Mobil listrik ini harus bisa bersaing dengan mobil bensin. Harga operation cost-nya harus kompetitif.  Sebagai pelaku industri, kami tidak bisa memaksa masyarakat membeli mobil listrik atau hanya dengan himbauan demi cinta lingkungan dan juga kalau mau sukses, harga mobilnya harus bisa lebih bersaing dengan mobil bensin. Di Jepang saja, harga mobil hibrid sudah seperti harga mobil bensin biasa. Jadi, insentif ke masyarakat mungkin juga harus diperhatikan. Bentuknya bisa macam-macam. Misalkan, untuk boleh masuk ke jalan tertentu hanya mobil listrik yang boleh lewat atau disinsentif bahwa orang yang memiliki mobil bensin lebih dari satu dikenakan biaya penalti.
Bagi saya, secara konservatif, mungkin tahapannya tidak bisa langsung ke mobil listrik. Urutannya mungkin menggunakan gas dahulu. Selain harganya lebih bisa bersaing, emisi karbonnya juga lebih rendah. Sehingga lebih mampu menyelamatkan lingkungan. Kalau memakai gas sudah lancar, masuk ke tahap berbahan bakar gas yang hibrid.
Lalu, mungkin sasarannya lebih baik bis umum terlebih dahulu yang menggunakan listrik. Bis umum di beberapa negara sudah menggunakan listrik. Bis umum di Indonesia  sudah menggunakan gas. Ini bagus. Baru kemudian bis berbahan bakar gas ini didorong menggunakan tenaga hibrid atau juga menggunakan listrik. Bis ini tidak perlu bawa aki berukuran besar, tetapi bisa membawa generator, sehingga ketika listrik baterainya habis, baterai itu bisa di-charge dengan generator itu. Jadi, mungkin perlu kebijakan yang bertahap dan pada akhirnya teknologi yang kita kuasai juga akan semakin berkembang dan kompetitif.


Courtesy :
(redaksi@wartaekonomi.com)
Sumber: Warta Ekonomi No 24/2012

 Refrensi :


Nama : I Made Wahyudi subrata
NPM : 23210346
Kelas : 3EB10

Selasa, 12 Februari 2013

APBD untuk MRT (BI-01-SS-2013)



Sejumlah mega proyek bakal digeber Pemerintah Provinsi DKI Jakarta setelah Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 2013 disahkan. Sidang paripurna DPRD 28 Januari kemarin mengetok APBD senilai Rp49,97 triliun. Jumlah itu naik sebesar 20,84 persen dibanding APBD tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp41,34 triliun. Selain dari pendapatan daerah, anggaran tahun ini diperoleh dari sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa) tahun anggaran 2012 dan pinjaman untuk program Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI).  Alokasi terbesar berada pada sektor pendidikan mencapai Rp12,6 triliun disusul bidang pemerintahan Rp7,9 triliun, Pekerjaan Umum (PU) sebesar Rp4,9 triliun, bidang kesehatan Rp4,1 triliun dan sektor perhubungan sebesar Rp3,3 triliun.

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mengatakan konsentrasinya pada penanganan banjir, macet, serta penataan kampung. Jokowi  menjelaskan, saat ini APBD sudah masuk ke Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, untuk disetujui. 

"Dari Mendagri muncul, saya langsung gerakkan manajemen organisasi yang ada untuk segera bergerak," ujar Jokowi di Balai Kota, Selasa, 29 Januari 2013.

Menurut Jokowi , untuk mengurai kemacetan, Pemprov DKI telah menyiapkan anggaran penambahan armada angkutan umum. Bus Transjakarta akan ditambah 450 unit, dan metromini ditambah 1.000 unit. 

”Pokoknya kami mau konsentrasi ke busway dan metromini dulu. Ini yang menyangkut masyarakat," ujarnya.

Kemudian, untuk mengurangi banjir, pos anggaran yang diberikan dalam APBD 2013 cukup banyak. Mulai dari pembebasan tanah untuk normalisasi sungai sampai pembelian alat sedot air dengan teknologi terbaru. 

"Untuk pembebasan tanah, pengerukan, beli alat semuanya. Sekarang sudah beda. Misalnya cara pengerukan tidak dikeruk pakai cangkul, tapi pakai alat, kemudian ngeruknya tidak pakai eskavatornya darat tapi amphibi, bisa darat bisa air," ujar dia.

Jokowi mengungkapkan pengesahan APBD yang molor membuatnya kelimpungan ketika tiba-tiba Jakarta dikepung banjir. Setelah APBD disahkan, proyek-proyek raksasa segera digarap. 

"MRT masuk, kalau monorel itu yang investasi swata. Kemudian deep tunnel juga swasta. Sudah kami hitung semuanya. Jadi tidak semua pakai APBD, sebagian cari dari luar," kata Jokowi.



Proyek MRT

Rencana proyek ini sudah berjalan sejak era Gubernur Fauzi Bowo. MRT adalah singkatan dari Mass Rapid Transit yang secara harafiah berarti angkutan yang dapat mengangkut penumpang dalam jumlah besar secara cepat. 

Pembangunannya dibagi tiga tahap. Tahap I koridor selatan. Menghubungkan Lebak Bulus - Bundaran Hotel Indonesia. Tahap II koridor Selatan - Utara menghubungkan Bundaran HI - Kampung Bandan. Tahap III yang menghubungkan Jakarta Timur - Barat, alternatif jalurnya Balaraja - Cikarang.

Biaya pembangunan proyek ini ditanggung pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta. Rasio skema pembiayaannya, kata Jokowi ,adalah 49 persen dana hibah pemerintah pusat, dan 51 persen pinjaman lunak ke Pemerintah DKI. 

Rupanya, proyek itu selama ini menuai pro dan kontra. Terutama bagi masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi pembangunan MRT tahap I: Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia. Untuk itu, Gubernur Jokowi akan kembali menggelar uji publik (public hearing) terkait rencana pelaksanaan mega proyek tersebut.


Refrensi :


Nama : I Made Wahyudi Subrata
NPM : 23210346
Kelas : 3EB10




Senin, 11 Februari 2013

Pro Kontra RSBI (BI-01-SS-13)


Polemik mengenai keberadaan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) mendapat perhatian serius dari wakil rakyat di Senayan.
Komisi X DPR-RI rencananya akan mengajukan revisi UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tahun ini juga. “Komisi X sudah sepakat untuk mengajukan revisi UU Sisdiknas tahun ini,” ujar Wakil Ketua Komisi X, Raihan Iskandar, Senin (9/1) pagi.
Ia menilai polemik tersebut telah meresahkan masyarakat karena pemerintah bersikukuh tidak mau membubarkan RSBI dengan alasan terbentur dengan Pasal 50 Ayat (3) UU Sisdiknas.
Anggota DPR dari Fraksi PKS itu menilai tuntutan untuk membubarkan RSBI sebenarnya disebabkan oleh faktor yang sederhana, yakni faktor ekonomi. “RSBI telah membuka peluang adanya pungutan lebih besar kepada siswa,” kata Raihan.
Selain itu, lanjut dia, RSBI juga telah menciptakan diskriminasi terhadap golongan siswa yang layak mendapatkan peluang belajar lebih baik. “Seharusnya siswa terbaik di mana pun dan dari kelas ekonomi apa pun bisa menikmati RSBI,” ujarnya.
Beberapa waktu yang lalu, pemerintah telah mengeluarkan Permen Nomor 60 tahun 2011 tentang larangan pungutan. Di dalam Permen tersebut diatur SD dan SMP yang masuk kategori RSBI dilarang melakukan pungutan tanpa persetujuan tertulis dari bupati atau walikota atau pejabat yang ditunjuk.
Menurut Raihan, Permen tersebut sudah cukup bagus. “Sekarang hanya tinggal sosialisasi serta pengawasan Permen tersebut diperketat,” ujarnya.




Nama : I Made Wahyudi s
NPM : 23210346
Kelas : 3EB10

Jumat, 08 Februari 2013

Ekonomi Jakarta pasca banjir (BI-01-SS-13)




          Dari sisi ekonomi, musibah banjir mengakibatkan matinya aktivitas ekonomi Jakarta dan sekaligus menjadi stimulus bagi pertumbuhan ekonomi Jakarta.
Musibah banjir lagi-lagi menyapa penduduk ibukota negara Indonesia, DKI Jakarta. 
Musibah banjir yang terjadi pada awal bulan kemarin merupakan musibah banjir yang sangat besar. Sungguh ironis memang, bukan harta benda yang hilang, bahkan nyawa manusia pun melayang dengan sia-sia. Dari sisi ekonomi, musibah banjir juga mengakibatkan matinya aktivitas ekonomi Jakarta. Aktivitas perdagangan yang bisa mencapai miliaran rupiah dalam sehari, khususnya di daerah pusat perbelanjaan, tiba-tiba hanyut seketika terbawa arus air yang sangat hebat. Sarana dan prasarana publik maupun swasta rusak akibat terpaan air.
          Di negara manapun atau di kota manapun di dunia, hujan tetaplah hujan, sama sekali tidak selalu menimbulkan banjir. Hal yang berbeda terjadi di Jakarta, apabila hujan datang, banjir selalu mengancam. Dengan adanya musibah banjir yang selalu terjadi hampir setiap tahun, seharusnya pemerintah lewat Pemda DKI Jakarta, sudah menyiapkan langkah atau program antisipasi bencana banjir sejak dini. Pengalaman banjir seharusnya menjadi pelajaran berharga dan menjadi bahan introspeksi untuk menciptakan DKI Jakarta yang bebas dari musibah banjir.


Dampak Ekonomi

          Mengamati sering terjadinya musibah banjir di Indonesia, khususnya di DKI Jakarta, ada baiknya kita melihat dampak ekonomi akibat bencana yang seringkali terjadi di Indonesia. Thomas Robert Malthus (1766-1834) merupakan salah satu ahli ekonomi klasik yang populer akibat ramalannya yang mengatakan bahwa di masa depan kehidupan akan diwarnai oleh kekurangan pangan atau ketimpangan ekonomi. 
Hal tersebut didasari oleh pernyataan Malthus, penduduk berkembang dengan laju seperti deret ukur sementara produksi pangan hanya berkembang mengikuti deret hitung. Malthus juga dikenal sebagai ahli ekonomi yang pesimis karena menurut perspektifnya mengenai kelangkaan disebabkan karena adanya non-renewable resources limit.

          Ramalan Malthus pada hakekatnya muncul akibat tiga hal, yaitu: pertama, Inggris yang sebelum tahun 1799 mengalami swasembada dalam pangan, mulai tahun 1799 justru mengimpor pangan, sehingga harga pangan di Inggris meningkat sejak tahun 1799. Kedua, dalam masa hidupnya, Malthus mengamati peningkatan jumlah kemiskinan pada kelompok masyarakat yang memiliki pendapatan rendah, dan ketiga, Malthus terkesan pada ide tokoh anarkisme, William Goldwin, yang mengatakan bahwa karakter manusia bukan merupakan hasil turunan melainkan karena pengaruh lingkungan.

           Pada dasarnya, Malthus berfokus pada masalah ketimpangan. Ketimpangan disini diartikan sebagai ketidakstabilan dalam ekonomi, khususnya dalam masalah distribusi pendapatan Dalam kasus Jakarta, musibah banjir yang hampir terjadi setiap tahun dan mencapai puncaknya setiap 5 tahun sekali, dalam sudut pandang ekonomi, dapat menghambat sekaligus memacu pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Jakarta. Betapa tidak, setiap terjadi musibah banjir di Jakarta, banyak sekali sarana dan prasarana publik dan swasta yang rusak sehingga roda perekonomian di ibukota terganggu. Sebaliknya, empati yang ditunjukkan oleh masyarakat Indonesia maupun dunia internasional dalam bentuk bantuan uang maupun barang dan jasa dapat memacu pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Jakarta.

           Secara logika, masuknya uang dari luar Jakarta tersebut merupakan capital inflow tersendiri bagi propinsi DKI Jakarta. Secara ilmu ekonomi, masuknya bantuan berupa uang, barang, dan jasa dari luar Jakarta merupakan penerimaan bagi Pemda DKI Jakarta. Berdasarkan hal tersebut, neraca keuangan propinsi DKI Jakarta akan mengalami surplus, khususnya dari sisi penerimaan (bantuan dan hibah). Selain itu, akibat adanya musibah banjir di Jakarta yang seringkali merenggut korban jiwa, secara otomatis dapat mengurangi populasi penduduk Jakarta. Penurunan jumlah penduduk Jakarta merupakan salah satu stimulus bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi karena dengan menurunnya jumlah penduduk, secara tidak langsung, akan meningkatkan pendapatan perkapita propinsi yang bersangkutan.

          Jika dilihat dalam jangka pendek, memang musibah banjir merupakan salah satu faktor penghambat pembangunan ekonomi. Hal ini bisa dilihat dari rusaknya gedung-gedung perkantoran, pabrik, pusat perbelanjaan, dan unit-unit kegiatan ekonomi lainnya, sehingga berimplikasi pada matinya kegiatan ekonomi dalam jangka pendek. Akan tetapi dalam jangka panjang, musibah banjir dapat menjadi salah satu stimulus bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Jakarta. Hal ini cukup beralasan jika, pertama, banyaknya aliran bantuan uang, barang, dan jasa yang masuk ke propinsi yang mengalami musibah, kedua, banyaknya korban jiwa yang berimplikasi langsung pada penurunan jumlah penduduk secara signifikan di propinsi yang mengalami musibah. Berdasarkan alasan tersebut, maka DKI Jakarta, yang sering mengalami musibah banjir, akan menjadi propinsi yang dapat mengalami pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat. Namun, hal-hal tersebut di atas akan terwujud jika tidak terjadi distorsi dalam proses penyaluran dan penggunaan bantuan bagi masyarakat yang tertimpa musibah.

           Musibah banjir memang bukan suatu hal yang kita inginkan karena begitu banyak kepedihan dan duka didalamnya. Akan tetapi, musibah banjir di Jakarta dapat menjadi salah satu stimulus bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu propinsi. Bantuan berupa uang, barang, dan jasa dari luar Jakarta dan luar Indonesia, serta penurunan jumlah penduduk yang cukup signifikan merupakan beberapa faktor yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi suatu propinsi. Malthus menawarkan cara untuk mengatasi terjadinya ketimpangan ekonomi dengan hal-hal yang tidak alamiah, seperti peperangan dan penyebaran penyakit yang mematikan. Sebaliknya, musibah banjir di Jakarta merupakan hal yang alamiah dalam mengatasi terjadinya ketimpangan ekonomi. Secara logis, fenomena yang alamiah lebih baik dibandingkan fenomena yang tidak alamiah. Namun, lebih baik lagi jika ketimpangan ekonomi tidak diatasi dengan peperangan, penyebaran penyakit, atau musibah banjir, melainkan dengan kebijakan-kebijakan yang mampu mengakomodir semua kepentingan dan mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat (social welfare), khususnya masyarakat ibukota DKI Jakarta.



Refrensi :



Nama : I Made Wahyudi Subrata
NPM : 23210346
Kelas : 3EB10