Prototip motor listrik PT Pindad (Persero) direncanakan akan jadi awal tahun depan. Kemudian BUMN di bidang industri strategis ini akan mulai membuat desain motor listrik untuk produksi masal 10.000 unit pada pertengahan tahun depan. Itulah rencana Pindad sebagaimana disaimpaikan Direktur Utama PT Pindad (Persero) Adik A. Soedarsono kepada tim Warta Ekonomi yang mewawancarainya, belum lama ini di kantor Pindad di Jakarta.
Adik menambahkan bahwa nantinya motor listrik buatan Pindad ini akan dicangkokkan dalam mobil listrik nasional. Dia juga menekankan pentingnya pemberian insentif buat mobil listrik ini jika nantinya mobil listrik akan mulai dipasarkan, agar mobil ini dapat bersaing dengan mobil listrik buatan luar dan mobil berbahan bakar minyak. Berikut ini petikan wawancaranya:
Bagaimana kesiapan PT Pindad dalam proyek mobil listrik nasional?
Kami memang bukan industri otomotif, walau Pindad pernah diinstruksikan untuk membuat mobil Maleo tahun 1980-an. Sayangnya, proyek ini kandas. Jadi, sebenarnya dalam cikal bakal industri mobil nasional, kami sudah terlibat, tapi belum sempat produksi.
Tahun 1983 ketika Pindad masuk ke Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS), kami pernah dimodali untuk tidak hanya membuat senjata, tetapi juga untuk membuat generator listrik. Sehingga, pada saat Pindad tidak menjual senjata, ia bisa menjual generator listrik Ada sekitar 200 lebih generator listrik kelas 5 megawatt di Indonesia adalah buatan Pindad. Motor-motor listrik di kereta listrik (KRL) adalah buatan Pindad, begitu juga remnya.
Namun, tahun 2009 konsep BPIS gugur dan kami kembali lebih fokus ke pembuatan senjata. Jadi, sebenarnya Pindad sudah cukup lama punya catatan sejarah bermain di bidang kelistrikan. Bukan tiba-tiba. Artinya, secara ide, kami sudah tahu bagaimana membuat motor listrik. Bahkan, dahulu motor listrik yang kami buat digunakan untuk menggerakkan gerbong kereta seberat 600 kilogram, sehingga kalau sekarang diminta membuat motor listrik yang bisa menggerakkan kendaraaan 15 kilogram, semestinya tidak sulit. Biasanya yang gede-gede, sekarang yang kecil-kecil. Kami dapat suntikan teknologi juga, sehingga begitu diberitahu sedikit, kami bisa langsung jalan cepat. Untuk mengurus ini, kami membentuk tim yang beranggotakan sekitar 10 orang.
Apa saja tantangan yang dihadapi dalam memproduksi motor listrik untuk mobil listrik ini?
Pertama, sebelumnya kami memproduksi motor untuk kereta api sehingga ukuran motornya tidak menjadi masalah, tetapi kalau untuk mobil, harus kecil-kecil ukurannya. Kedua, soal efisiensi. Ketiga, dari sisi harga. Kami biasanya membuat motor yang harganya hingga Rp1 miliar, sekarang kami harus membuat motor listrik untuk mobil yang harganya hanya sekitar Rp15-Rp25 juta. Solusinya, kami harus melakukan produksi massal. Jadi, langsung membuat 50.000 atau 100.000 unit untuk menurunkan biaya produksinya.
Jadi, sudah ada target produksinya?
Sudah. Sekarang target kami rancang 10.000 unit per tahun. Jadi sekarang kita setting ini untuk 10.000. Semoga tahun depan terlaksana. Kami diberi waktu dua tahun oleh Presiden ketika itu. Jadi, kami masih punya waktu satu tahun, kalau terlambat.
Sekarang yang mesti dibuktikan bahwa motor buatan kami itu sudah bisa diterima atau tidak oleh industri mobil listrik. Kami sudah punya prototipnya dan mereka pakai untuk diuji dan disempurnakan. Secara perencanaan, kami memiliki tiga tahap siklus: membuat prototip, mereka pakai, diuji, lalu kami perbaiki, dan kemudian kami tawarkan kembali. Kalau sudah final, maka berarti sudah bisa untuk komersial.
Benarkah untuk membuat prototipnya, Pindad menghabiskan dana hingga di atas Rp500 juta?
Itu untuk investasinya, termasuk untuk alat memproduksinya. Tapi, kalau dari bahannya sendiri, seperti harga chasing, ukuran barangnya, dan ongkos permesinannya kami hitung-hitung Rp50 juta. Jadi, itu bukan harga motor listriknya, tapi sudah sekalian untuk biaya riset dan lain-lainnya.
Jadi, berapa besar dana yang dibutuhkan untuk membuat prototip motor listriknya?
Sekitar Rp1,9 miliar. Prototip ini terus kami sempurnakan agar bisa diterima pasar. Bila sudah didapat, maka akan kami produksi masal motor listrik itu dengan kapasitas 10.000 unit tahun depan. Mudah-mudahan bulan Januari kami sudah bisa tentukan cara produksi masalnya sesuai nilai investasinya. Target 10.000 unit lebih merupakan angka politik yang datang dari Pak Dahlan.
Berapa besar nilai investasi untuk produksi masal 10.000 motor listrik itu?
Sekitar Rp35 miliar. Setelah kami dapat angka acuan produksi 10.000, kami perkirakan mesin yang dibutuhkan dan ongkos produksinya. Begitu prototip didapat, maka untuk memproduksi masal, perlu ditentukan mesin produksinya. Karena untuk membuat dalam jumlah 10.000 unit dengan 100.000 unit, berbeda-beda jenis mesinnya.
Selain Pindad dan PLN, BUMN lain yang diundang ikut proyek ini?
Yang pertama diundang Pindad karena kami punya sejarah membuat motor listrik, generator, dan sebagainya. Akhirnya, penugasan ke Pindad, tetapi kami tidak bisa membuat sendiri. Kami harus membuat konsorsiumnya. Lalu kami bersama-sama tanda tangan di depan Menteri BUMN Dahlan Iskan. Disitu ada PT LEN, PT INTI, PT Krakatau Steel. Jadi, ada beberapa industri lain yang kami ajak, tetapi kalau yang mendapat surat perintahnya hanya Pindad.
Anda optimistis dengan proyek ini?
Ya saya harus optimistis, walaupun ini sudah lewat dari jadwal karena sekarang sudah masuk bulan November. Prototip pertamanya belum begitu sukses karena mengalami problem overheating. Prototip kedua belum keluar apa masalahnya. Prototip ini kami targetkan selesai Januari tahun depan. Baru setelah itu, kami masuk ke desain produksi masal.
Untuk produksi baterainya, benarkah Pindad telah bekerja sama dengan PT Nipress?
Jadi, waktu kami dapat penugasan untuk membangun industri motor listrik, target utamanya sekarang motor itu digunakan untuk mobil listrik, padahal mobil listrik mengandung banyak komponen, sehingga kami memutuskan membangun konsorsium, yang memasok mulai dari bateri hingga panel display-nya. Jadi, waktu itu, ada enam perusahaan yang akan mendukung industri mobil listrik. Disitu Pindad dituakan dan diangkat sebagai pimpinannya.
Menurut Anda, sebenarnya seperti apa rencana pemerintah terhadap proyek mobil listrik ini?
Pendapat saya, ini baru pada tahap kebijakan politik. Baru keinginan politik, tapi belum sampai ke kondisi pasar yang berdampak kepada industri ini. Karena jangankan di Indonesia, di Amerika saja yang bebas, industri mobil listrik itu dibunuh oleh industri mobil bensin. Karena itu, kalau mobil listrik ini berjaya, industri mobil bensin akan tewas.
Di Indonesia, bukan hanya dari segi bisnisnya saja yang kurang kondusif untuk mobil listrik, tetapi juga dari segi kebijakannya. Karena, selama bensin seharga Rp4.500 per liter, maka tidak ada alternatif yang bisa melawan. Satu disubsidi, yang lain tidak. Jelas, energi alternatif ini tidak akan bisa bersaing.
Tapi, kalau bensin itu mahal, yang lain bisa muncul sebagai alternatif. Misalkan harga bensin naik dari Rp4.500 menjadi Rp9.000, maka kalau memakai mobil listrik mungkin cuma Rp8.500. Itu bisa. Tapi, kalau sekarang harga bensin Rp4.500, maka itu berat disaingi. Oleh karena Rp4.500 itu memang kondisi politik atau diatur secara politik. Akhirnya memang tidak berkembang industri biofuel dan sebagainya.
Buat kami sebenarnya juga tidak masalah. Kalaupun nanti kami tidak berhasil di mobil listrik ini, nanti bisa kami pakai untuk generator mikrohidro. Jadi, motor listrik yang kami buat tidak hanya bisa dipakai untuk mobil listrik. Motor listrik bila diberi listrik menghasilkan putaran, sebaliknya bila diberi putaran akan menghasilkan listrik.
Jadi, ini tetap kami jalankan.
Berapa besar pengorbanannya bagi Pindad?
Karena kami diperbolehkan menggunakan laba kami untuk ini, ya kami jalankan. Karena ini perintah dari kantor Kementerian BUMN. Saya sudah menjelaskan ke Menteri BUMN, bahwa kalau kami menjalankan proyek ini, biayanya akan sekian dan kami dipersilakan memakai laba kami untuk ini.
Waktu itu saya ajukan biayanya sekitar Rp1,5 miliar – Rp2 miliar. Saya ajukan proposal biaya yang diperlukan untuk membuat prototipnya sebesar itu dan diizinkan. Karena diizinkan, kami jalankan. Kalau kemudian kami merugi karena ini, kami tinggal memberitahukan bahwa ini sesuai perintah Menteri BUMN untuk mengembangkan ini, meskipun pasarnya kami juga belum tahu persis. Sebab, biasanya kalau kita mengembangkan sesuatu, pasti kami akan ketahui berapa besar pendapatan yang kami peroleh. Misalnya, kalau kami hendak meneruskan membuat panser Anoa, kami bisa menghitung berapa biaya produksinya, harga jual, dan target pasarnya sehingga kami berani investasi.Untuk proyek ini, kami belum jelas, tetapi tetap kami jalankan sebagai kontribusi Pindad bagi masyarakat Indonesia.
Jadi, sekarang saya sarankan harus ada insentif. Jangan BBM premium yang merusak lingkungan diberi insentif, sementara energi lain dibiarkan berdarah-darah. Yang gas saja tidak bisa kompetitif selama BBM premium masih Rp4.500 per liter. Untuk apa susah-susah memikirkan ini bila harga bensin masih Rp4.500.
Bagaimana perbandingannya penggunaan bensin dengan mobil listrik pada kilometer yang sama?
Ini pasti lebih murah, bila harga bensin bukan Rp4.500. Lihat saja pembangkit listrik, yang bila dibangkitkan dengan air, dia bisa per Rp600, sementara dengan tenaga diesel bisa Rp3.000. Jadi, lebih murah tiga kali lipat.
Contoh lain, ketika jalanan macet, mobil bensin pasti menghabiskan energi. Sementara, kalau mobil listrik tidak. Begitu mobil berhenti, pasokan listrik dari aki berhenti dan baru tersambung lagi ketika mobil jalan lagi. Jadi, kemacetan bukan hanya menghabiskan waktu, tetapi juga menimbulan kerugian besar bila menggunakan mobil bensin.
Memang perlu insentif untuk energi alternatif ini. Misalnya di Eropa, orang yang memakai solar cell di rumahnya, mungkin mahal sewaktu membeli alatnya, tetapi kalau orang memakai itu, ia mendapatkan insentif pengurangan pajak penghasilan.
Saya katakan ini masih merupakan kebijakan politik, bukan berarti saya menentang kebijakan Menteri BUMN. Kalau saya melawan, tidak saya jalankan proyek ini. Ini justru saya loyal kepadanya dan oleh karena itu kami keluarkan dana dalam proyek ini. Jadi, saya katakan ini bukan untuk melawan pimpinan, tetapi bagaimana supaya bisnis mobil listrik ini dapat berkembang.
Awalnya grand design Dahlan Iskan seperti apa untuk mobil listrik?
Grand design mobil listrik dalam aplikasinya diusahakan bisa untuk perjalanan jarak dekat. Kalau untuk jarak jauh terbentur masalah storage yang mahal. Untuk mobil bensin, gampang, tinggal dibesarkan ukuran tangkinya. Kalau mobil listrik, berarti akinya harus dibuat lebih besar dan ini mahal. Tetapi, kalau untuk jarak dekat, misalnya dengan gaya hidup ke kantor atau supermarket hanya 15 menit, mobil listrik cocok. Yang mau dikembangkan Pak Dahlan seperti itu, yaitu konsep mobil listrik untuk jarak dekat dan kemana-mana bisa di-charge baterainya, seperti di kantor atau supermarket, sehingga ukuran baterainya tidak perlu besar.
Insentif apa yang dibutuhkan sehingga proyek ini masuk akal secara bisnis?
Kami di sini sebagai tier 2, bukan tier 1. Kami bukan integrator seperti yang di Depok atau Yogyakarta. Kalau itu, tier 1. Saat ini mereka membeli motor listriknya dari luar negeri. Nanti, kami harus suplai ke mereka. Kami sudah mengadakan pertemuan dengan mereka untuk menanyakan detil kebutuhan motor listriknya. Untuk sementara, target alokasi bujet pembelian motor ini sekitar Rp25 juta per unit, walau sebenarnya yang paling kompetitif Rp15 juta.
Insentif yang kami butuhkan jelas bila mobil listrik ini bakal dibeli sehingga kalau mau membangun mobil listrik dan membutuhkan motor listriknya, mereka membelinya dari kami. Tapi, sebagai rencana cadangan, kalau motor kami itu tidak jadi untuk membuat mobil listrik, ya kami alihkan untuk dibuat sebagai generator listrik yang menghasilkan listrik. Ini bisa untuk pembangkit listrik mikro hidro yang potensial digunakan di Indonesia.
Insentif lain?
Mobil listrik ini harus bisa bersaing dengan mobil bensin. Harga operation cost-nya harus kompetitif. Sebagai pelaku industri, kami tidak bisa memaksa masyarakat membeli mobil listrik atau hanya dengan himbauan demi cinta lingkungan dan juga kalau mau sukses, harga mobilnya harus bisa lebih bersaing dengan mobil bensin. Di Jepang saja, harga mobil hibrid sudah seperti harga mobil bensin biasa. Jadi, insentif ke masyarakat mungkin juga harus diperhatikan. Bentuknya bisa macam-macam. Misalkan, untuk boleh masuk ke jalan tertentu hanya mobil listrik yang boleh lewat atau disinsentif bahwa orang yang memiliki mobil bensin lebih dari satu dikenakan biaya penalti.
Bagi saya, secara konservatif, mungkin tahapannya tidak bisa langsung ke mobil listrik. Urutannya mungkin menggunakan gas dahulu. Selain harganya lebih bisa bersaing, emisi karbonnya juga lebih rendah. Sehingga lebih mampu menyelamatkan lingkungan. Kalau memakai gas sudah lancar, masuk ke tahap berbahan bakar gas yang hibrid.
Lalu, mungkin sasarannya lebih baik bis umum terlebih dahulu yang menggunakan listrik. Bis umum di beberapa negara sudah menggunakan listrik. Bis umum di Indonesia sudah menggunakan gas. Ini bagus. Baru kemudian bis berbahan bakar gas ini didorong menggunakan tenaga hibrid atau juga menggunakan listrik. Bis ini tidak perlu bawa aki berukuran besar, tetapi bisa membawa generator, sehingga ketika listrik baterainya habis, baterai itu bisa di-charge dengan generator itu. Jadi, mungkin perlu kebijakan yang bertahap dan pada akhirnya teknologi yang kita kuasai juga akan semakin berkembang dan kompetitif.
Courtesy :
(redaksi@wartaekonomi.com)
Sumber: Warta Ekonomi No 24/2012
Refrensi :
Nama : I Made Wahyudi subrata
NPM : 23210346
Kelas : 3EB10