Belakangan ini ramai digugat
soal kunjungan kerja Angota DPR keluar negeri. Dianggap tidak
serius, karena lebih banyak jalan jalannya serta menghabiskan anggaran yang
sangat besar. Kunjungan kerja yang terakhir anggota DPR adalah ke
Denmark. Dikabarkan kunjungan kerja ini bertujuan untuk melakukan
studi banding tentang Logo Palang Merah Indonesia yang segera akan
diganti/disesuaikan berkaitan dengan akan lahirnya Undang Undang yang
baru. Akan tetapi seorang warga Indonesia memergoki Anggota DPR saat
berwisata di atas boat di sebuah canal di Copenhagen. Inilah yang menjadi
biang keributan, karena bukan kunjungan kerja yang dianggap utama, tapi wisatanya
dengan menghabiskan dana (uang rakyat) yang sangat besar sekitar Rp
1.300.000.000,.
Lalu Ketua DPR Marzuki Alie
pun membela para anggota DPR yang berkunjung, karena wisata tersebut dilakukan
setelah kunjungan kerja. “Wisata satu hari setelah kerja 4-5 hari kan
biasa”, kata Marjuki Alie tanpa sedikitpun perasaan bersalah.
“Kunjungan kerja dengan biaya yang sangat
besar namun aspek wisatanya yang lebih banyak”, ini salah satu gugatan yang
disampaikan kepada DPR. Saya pribadi lebih menyoroti bukan dua
aspek itu. Karena seperti pembelaan Marzuki Alie, memang ada
benarnya juga.Yang lebih penting disorot kalau menurut saya adalah mekanisme
pembelajaran yang dilakukan. Bagaimana caranya agar
studi banding atau kunjungan kerja itu benar benar efektif. Saya
kira adalah hal yang lebih substansial untuk disorot. Jika penentuan bidang
yang dipelajari, cara untuk mempelajari dan membandingkannya, dan selanjutnya
mensintesa suatu hal yang baru untuk konteks Indonesia lebih diutamakan oleh
Anggota DPR atau lembaga lain dalam melakukan studi banding maka tidak
akan ada ribut ribut. Kalau ada biaya, dan ada aspek jalan jalannya
yah itu sudah konskwensi dari studi banding ke negara yang lebih
maju. Tidak mungkin dielakkan, dan tidak mungkin juga
dihentikan. Karena semua manusia mempunyai dorongan untuk pergi ke tempat
yang baru, yang lebih maju dan lebih modern.
Ada aspek positif dengan melakukan
kunjungan kerja atau studi banding, dimana anggota DPR membutkikan diri terbuka
dengan hal hal yang baru. Bersedia membuka pikiran dan mau menerima
pembelajaran dari negara maju harus diutamakan saat melakukan kunjungan
kerja. Kalau hal ini dipraktekkan anggota DPR setiap kali melakukan
kunjungan kerja, saya yakin rakyat akan memahami dan menyetujuinya. Namun
kalau pikiran tertutup, kunjungan kerja hanya alasan untuk bisa berjalan
jalan ke luar negeri dengan dibiayai oleh Pemerintah yang menarik pajak dari
rakyat, maka hal ini tentu naif sekali.
Pemilihan topik pembelajaran serta penentuan negara yang dijadikan untuk objek studi banding sebaiknya dipikirkan dengan cermat. Kalau bisa ditemukan subjek pembelajaran yang akan dilakukan dalam kunjungan kerja, dan dengan cepat diimplementasikan melalui keluarnya Undang Undang yang lebih mengutamakan kepentingan Rakyat, maka kunjungan kerja ini tentu direstui dan dibanggakan oleh rakyat meskipun anggarannya cukup besar dan jalan-jalannya tetap ada. Kedepan metode seperti inilah yang lebih kita harapkan dilakukan oleh anggota DPR.
Satu hal yang sangat mendesak dipelajari oleh DPR dengan melakukan kunjungan kerja adalah berkaitan dengan kehidupan beragama. Seperti kasus Sampang, mengapa itu terjadi di Indonesia mengapa di negara lain tidak terjadi. Tentukan ada negara yang mempunyai penduduk yang berlaliran Sunny dan Siah di dunia ini yang bisa hidup dengan damai. Mengapa mereka bisa damai? Apa yang mereka lakukan? Jika Anggota DPR dapat dengan tepat dan cepat mempelajarinya dan mampu membuat sintesa baru untuk dipakai mengatasi permasalahan di Indonesia, ini kan sangat bermanfaat dan positif?
Pemilihan topik pembelajaran serta penentuan negara yang dijadikan untuk objek studi banding sebaiknya dipikirkan dengan cermat. Kalau bisa ditemukan subjek pembelajaran yang akan dilakukan dalam kunjungan kerja, dan dengan cepat diimplementasikan melalui keluarnya Undang Undang yang lebih mengutamakan kepentingan Rakyat, maka kunjungan kerja ini tentu direstui dan dibanggakan oleh rakyat meskipun anggarannya cukup besar dan jalan-jalannya tetap ada. Kedepan metode seperti inilah yang lebih kita harapkan dilakukan oleh anggota DPR.
Satu hal yang sangat mendesak dipelajari oleh DPR dengan melakukan kunjungan kerja adalah berkaitan dengan kehidupan beragama. Seperti kasus Sampang, mengapa itu terjadi di Indonesia mengapa di negara lain tidak terjadi. Tentukan ada negara yang mempunyai penduduk yang berlaliran Sunny dan Siah di dunia ini yang bisa hidup dengan damai. Mengapa mereka bisa damai? Apa yang mereka lakukan? Jika Anggota DPR dapat dengan tepat dan cepat mempelajarinya dan mampu membuat sintesa baru untuk dipakai mengatasi permasalahan di Indonesia, ini kan sangat bermanfaat dan positif?
Namun
jika dilihat dari fakta yang ditemukan oleh sejumlah anggota Persatuan Pelajar
Indonesia (PPI) di Jerman yang menyaksikan kegiatan para anggota Dewan selama
di Jerman, termasuk rapat dengan DIN memang agak sedikit miris. Akun
PPIBerlinPers mengunggah rapat yang berlangsung terlihat sangat kaku tersebut
ke situs YouTube pada Rabu, 21 November 2012. Lihat
videonya di bawah.
Tayangan berjudul [PPI Berlin] Fakta Kunker Baleg DPR-RI ke DIN (Deutsches Institut für Nörmung) itu berdurasi 16 menit. Dalam tayangan tersebut, PPI "menyambut" rombongan anggota Dewan yang hendak rapat dengan DIN.
Tayangan berjudul [PPI Berlin] Fakta Kunker Baleg DPR-RI ke DIN (Deutsches Institut für Nörmung) itu berdurasi 16 menit. Dalam tayangan tersebut, PPI "menyambut" rombongan anggota Dewan yang hendak rapat dengan DIN.
Ilustrasi teks di tayangan itu menyebutkan rapat sangat terlihat tidak dikoordinasi dengan baik. Buktinya, rapat menunjuk penerjemah secara mendadak. "Kami juga harus ikut sedikit membantu menjadi penerjemah."
Video juga dilengkapi keterangan dari PPI sebagai berikut:
Hasil Investigasi PPI Berlin mengenai Kunker Anggota DPR-RI ke Berlin mengenai RUU Keinsinyuran 19 November 2012
Sebagai kegiatan lanjutan dari
surat pernyataan penolakan terhadap kunjungan kerja Baleg DPR mengenai RUU
Keinsinyuran, maka dibentuklah tim pencari fakta untuk mengetahui apa saja yang
dilakukan anggota DPR selama di Berlin.
1. Pada hari Minggu, kami mendapat informasi bahwa anggota DPR telah tiba di Berlin pada Minggu pagi dan informasi lain mengatakan bahwa hari Senin, agenda mereka adalah rapat di DIN (Deutsches Institut für Nörmung) pada jam 10.00
2. Tim yang melakukan investigasi pada hari Senin, 19 November 2012 berjumlah sekitar 12 orang. Beberapa orang dari tim standby di DIN pukul 09.45 pagi dan beberapa orang stand by di tempat lain.
3. Pukul 10.00 pagi, ternyata
benar anggota DPR yang berjumlah 8 orang laki-laki dan 1 orang perempuan tiba
di DIN dengan menggunakan bus dan didampingi beberapa orang dari pihak KBRI.
Berkat lobi ke pihak DIN pada Hari sebelumnya, beberapa orang perwakilan
mahasiswa diperbolehkan masuk dan ikut mendengarkan dalam diskusi atas undangan
dari DIN.
4. Sekitar pukul 11.45 datang
terlambat 2 orang anggota DPR lagi, 1 orang laki2 dan 1 perempuan dengan
membawa koper.
5. Sekitar pukul 12.10, rapat
telah selesai dan mereka semua keluar dari DIN dan langsung berangkat dengan
bus.
6. Kami mengikuti bus tersebut, ternyata
mereka menuju restoran Hafis di sekitar Turmstrasse. Setelah itu tim
meninggalkan tempat dan makan siang di kantin Technische Universität Berlin.
7. Sekitar jam 14.30 kami mencoba
kembali ke restoran tersebut, secara kebetulan ternyata mereka juga baru keluar
dari restoran. Kami mengikuti mereka yang ternyata menuju KBRI. Setelah itu
kami tidak mengikuti mereka lagi. Menurut info mereka kembali ke hotel dan
dilanjutkan makan malam.
8. Berikut poin-poin yang didapat
dari teman-teman yang masuk mengikuti jalannya rapat di DIN :
a. Sebagian dari mereka kurang menguasai bahasa Inggris sehingga pada saat rapat berlangsung mereka meminta translator kepada pihak KBRI yang dikoordinasikan secara mendadak. Artinya pertemuan ini tidak dipersiapkan dengan baik. Padahal, jika memang translator dibutuhkan, harus dikoordinasikan lebih dahulu dan translator juga sebaiknya menguasai bidang dan bahan.
a. Sebagian dari mereka kurang menguasai bahasa Inggris sehingga pada saat rapat berlangsung mereka meminta translator kepada pihak KBRI yang dikoordinasikan secara mendadak. Artinya pertemuan ini tidak dipersiapkan dengan baik. Padahal, jika memang translator dibutuhkan, harus dikoordinasikan lebih dahulu dan translator juga sebaiknya menguasai bidang dan bahan.
b. Mereka datang dengan tujuan membuat RUU tentang Keinsinyuran, sedangkan DIN mengurusi tentang standarisasi produk di Jerman dan DIN juga bukan lembaga negara atau pemerintahan. Jadi, bisa dibilang kunjungan ke DIN ini salah alamat.
c. Informasi yang didiskusikan adalah informasi yang umum seperti:
· Mengenai aktivitas DIN di
Jerman dan Eropa, sejarah terbentuknya DIN
· Prosedur kerja di DIN dan
hubungannya dengan kebijakan pemerintah Jerman, terutama di dalam bidang sains
dan teknologi.
· Anggota DPR menanyakan mengenai
kapasitas DIN sebagai salah satu tolak ukur parameter kebijakan di bidang
teknik.
· Kunjungan ke DIN tidak
berhubungan langsung dengan RUU Keinsinyuran karena DIN tidak mengatur
profesi/individu dari insinyur itu sendiri, melainkan menstandarkan produk dan
proses dari berbagai bidang keteknikan di Jerman.
· DPR menanyakan apakah ada
hukuman yang didasari oleh legislasi kepada pihak tertentu untuk project yang failure/gagal di bidang keteknikan
(contoh: di bidang konstruksi, K3). Hal ini tidak bisa dijawab dengan mudah dan
bukan kapasitas dari DIN untuk menjawab karena banyak faktor yang mempengaruhi
kegagalan suatu proyek. Selain itu, dalam kerangka kebijakan, sanksi untuk
kegagalan proyek bukanlah sesuatu yang bisa didesain dengan absolut.
Dari pembicaraan tersebut, kami menganggap bahwa, kalau hanya informasi seperti ini saja bisa didapat cukup dengan mengakses website, email, webminar, atau hanya bisa dengan mengirimkan 1 tau 2 orang saja, tidak perlu sampai belasan orang.
d. Terlihat kurangnya persiapan karena di awal pihak DIN sempat mengutarakan permintaan maaf atas persiapan yang seadanya karena waktu yang sempit.
9. Dari pertemuan di DIN, bisa
disimpulkan bahwa anggota DPR tidak menguasai bahan secara mendalam. Seharusnya
ada baiknya untuk RUU Keinsinyuran ini dibuat dulu draftnya, kemudian
disebarkan kepada stakeholder/publik
untuk di-review.
10. Pertemuan DIN bisa dibilang salah alamat karena DIN itu lembaga yang untuk standarisasi "produk" bukan profesi seperti yang menjadi agenda utama Anggota DPR.
Menurut kabar yang kami terima, pada hari Selasa, 20 November 2012 datang juga anggota DPR-RI dari Komisi IX dalam rangka studi banding untuk UU OJK (Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan). Namun, sayangnya kami tidak berhasil melacak mereka.
Nama : I Made Wahyudi Subrata
NPM : 23210346
Kelas : 3 EB 10
Refrensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar